"Kita harus mulai meregulasi peraturan soal pewaris tahta."
Pagi itu di ruangan raja yang selalu terasa sepi dan menggemakan suara siapa saja yang berbicara di dalamnya, Pangeran Sungmin menengadah menatap sang raja yang mengalihkan pandang dengan iris resah. Anak tunggal dari pamannya yang merupakan seorang raja besar itu kini tak ubahnya bak pria biasa yang tak ingin diajak bicara, bukan seorang raja yang biasanya selalu berhasil menciptakan kesan tegas dan berwibawa.
"Donghae-ya...."
Pangeran Sungmin mengeja nama yang baru saja diucapkannya di dalam hati. Untuk pertama kali sejak pengangkatannya sebagai raja, ini kali pertama ia dipanggil dengan nama aslinya.
Donghae, Lee Donghae. Bagi Sungmin, itu hanya nama sederhana dari adik sepupunya yang dulu sering menghabiskan waktu bersamanya, bermain sebagai sahabat kecil tanpa embel-embel pangeran istana. Mereka tumbuh bersama sebagai sepasang adik dan kakak, tanpa peduli bahwa masing-masing ayah keduanya menduduki kursi yang berbeda. Donghae dengan warisan kursi tahta ayahnya, dan Sungmin yang selamanya hanya akan mewarisi gelar pangeran biasa, layaknya sang ayah.
Tapi itu bukan masalah, Sungmin tak pernah mempermasalahkannya. Ia sadar dan paham betul bahwa singgasana raja selalu diturunkan secara statis berdasarkan urutan kelahiran, tanpa disertai kualifikasi khusus lainnya. Jadi saat sang ayah justru hanya akan menyandang gelar sebagai pangeran tanpa memungkinkan menjadi seorang raja, Sungmin memaknai itu sebagai takdir anak kedua yang memang tidak dapat disangkalnya. Juga, ia tak dapat menghakimi takdirnya yang hanya seorang anak dari pangeran kedua yang tidak mewarisi tahta apapun dari ayahnya.
Seandainya kerelaannya itu sejalan dengan situasi yang seharusnya terjadi saat ini.
"Apa yang perlu diregulasi? Pengangkatan cucumu sebagai pewaris cadangan sudah merupakan perubahan peraturan yang sangat besar. Orang-orang di luar sana sudah cukup dibingungkan dengan hal itu."
Donghae mencoba tenang, meski sejatinya ia ingin mengenyahkan sosok dengan sorot penuh tuntutan itu dari hadapannya sekarang. Tapi ia tidak mampu. Sebuah ketidakmampuan yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang raja sepertinya.
"Hyung...."
Sang raja yang kini memposisikan dirinya sebagai seorang adik kecil itu kembali membuka mulutnya, mengeja panggilan yang paling ia rindukan kepada seseorang yang kini menatapinya dengan sorot mata tajam.
"...aku mohon mengertilah posisiku."
"Aku pikir seharusnya kau yang mulai memahami kondisi anakmu."
Ada tatapan kaget untuk penanggapan sederhana itu, seolah substansinya tak seringan redaksi katanya. Dan Sungmin menyadarinya, hanya untuk membiarkan itu sebelum kemudian berlalu dari hadapan si raja besar.
"Aku berharap suatu saat kau mau membuka mata untuk keadaan istana saat ini, Yang Mulia...."
Setelahnya pintu tertutup dengan derit suaranya yang menggema, menemani sang raja yang kini hanya seorang diri di dalam ruangannya. Bayangan soal bagaimana sang kakak sepupu memandanginya dengan serius sepanjang obrolan mereka tadi merenggut ketenangannya, pun dengan kata-kata si pangeran yang kini seolah menjadi latar belakang suara dari kegundangan hatinya.
Lee Donghae menghela napas kasar. Netranya berangsur-angsur basah saat terpaku tepat pada lukisan yang termangu bisu di sudut ruangan itu.
"Yoona-ya...."
•
/Brak/
Ratu Sooyeon melempar kasar laporan kegiatan sang calon penerus tahta saat kertas dengan map berstempel kerajaan itu disodorkan oleh putranya. Matanya yang terukir indah melotot tajam, mencoba mencerca si putra mahkota yang kini duduk di kursi kebesarannya sembari menunduk takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!