Lembaran Kedua Puluh Lima

3K 310 29
                                    

Di penghujung musim dingin, pohon-pohon ek yang sebelumnya hidup sebagai eksistensi yang kering dan tak lebih hanya berupa batang-batang lebar dan kokoh, kini kembali menemukan esensinya lewat daun-daun yang kembali hijau. Tanah basah di bawahnya kini memberikan kesan yang jauh lebih hangat dengan aroma khas yang sempat hilang oleh tumpukan salju. Burung-burung gereja melengkapi roman awal musim semi dengan cuitannya yang saling bersahutan, seolah antara yang satu dengan yang lainnya enggan kalah dalam kontestasi alam. 

Taman istana selalu menyuguhi apa yang ingin alam suguhi secara apa adanya. Ia tak pernah berpura-pura dan hidup dalam empat musim yang silih berganti tanpa pernah menyembunyikan warnanya. Jika istana adalah tempat di mana orang-orang memasang topeng dan berperilaku layaknya aktor opera, maka taman istana adalah tempat untuk orang-orang itu melepas topeng mereka.

"Selamat untuk kehamilan Renjun-ssi."

Suara yang mengawang dan beradu dengan gemerisik angin yang mengenai dedaunan itu terdengar bersih dan apik. Pemiliknya kini tengah menatap pada kabut tebal yang menyelimuti taman, yang tetap tak mau kalah beradu dengan sinar matahari musim semi yang masih asing untuk kembali menerangi bumi. Minhyung tampak melebur pada apa yang taman istana sajikan, dan tubuhnya yang stagnan seolah tak menghalangi jiwanya untuk tenggelam dan terbenam dalam elemen tak kasat mata yang memeluknya; libayu yang dingin dan semerbak harum dedaunan.

"Aku tidak menyangka kau akan segera menjadi ayah."

"Aku juga tidak menyangka."

Yang menjadi teman bicara kurang dari setengah jamnya mulai angkat suara, meski dengan penanggapan yang singkat. Lelaki itu menyeringai saat Minhyung menatapnya dan mengerutkan alis penuh rasa ingin tahu.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Seperti yang kau lihat," Pangeran mahkota membusungkan dadanya dan seringaiannya terlihat semakin lebar setelah itu, "aku senang, tentu saja. Itu suatu reputasi yang baik kan untuk istana?"

Minhyung mendengus kecil, sedikit merasa tergelitik oleh kata-kata adik sepupunya ini. Pria itu lantas terkekeh samar saat Jeno tampak penasaran dengan jawaban atas pernyataannya tadi.

"Aku tidak menyangka kau jadi peduli pada hal semacam itu. Terakhir yang aku ingat kau hanya peduli pada kuda-kudamu, balapan liar, dan kabur-kaburan."

"Aku tetap tertarik dengan itu  semua, Hyung. Kau tenang saja.

Aku akan tetap jadi Jeno yang kau kenal."

Kata-kata itu seolah menyadarkan Minhyung dari keterpengkurannya dalam alam liar. Pangeran yang selama ini dikenal kharismatik dan bereputasi baik itu menatap seseorang di sampingnya dengan mata kaget yang asing, yang bahkan tak dimengerti olehnya sendiri. Ada desiran aneh yang menyapa di dalam diri, dan itu berubah menjadi sebuah euforia yang belum pernah ia kenali.

Minhyung mengerjap dua kali saat seringaian Jeno semakin lebar dan menyuguhi sebuah wajah yang familier; wajah seorang pangeran mahkota yang kekanakkan.

"Kau--" ada jeda yang cukup panjang seolah tenggorokan itu tercekat, "kau harus berubah."

Jeno tertawa terbahak-bahak, seolah kata-kata tadi adalah lelucon yang pantas dibayar dengan tawa kencang. Wajah Minhyung memerah dan ia berdehem canggung setelahnya.

"Aku tahu kau akan sulit berubah."

"Dan sejujurnya itu baik."

"Tapi setidaknya kau harus menyadari bahwa kau adalah calon raja."

Nadanya terkesan pahit saat mulutnya menyebutkan kalimat terakhirnya itu. Minhyung sejujurnya tak menyukai pembahasan macam ini, dan ia tahu Jeno juga buka orang yang tepat untuk diajak bicara mengenai tahta dan segala macamnya. Ia merutuk bagaimana refleksnya justru menyuarakan sesuatu yang selama ini bahkan selalu berusaha ia enyahkan dari pikirannya sendiri.

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang