Suara derap langkah kaki Garen menggema di sepanjang koridor. Hari ini dia kembali konsultasi dengan dosen pembimbingnya, membahas mata kuliah yang belum dia tuntaskan, menyarankan beberapa solusi yang mungkin saja di tolak, dan memohon bagaimana agar proses skripsinya ini benar-benar cepat selesai. Karena masih banyak sekali kegiatan yang menunggunya untuk segera dikerjakan, belum lagi urusan dengan label musik yang menawari bandnya punya nama dan urusan BEM yang mengadakan banyak rapat untuk acara yang belum jelas diadakan atau tidak. Garen sangat menyayangkan waktunya.
Urusan hatinya pun juga belum selesai, dua hari ini Garen mengirimkan banyak pesan pada Oza yang tentu saja jarang dibalas. Perempuan itu menghindarinya setelah menolak. Ketika waktu dimana Oza mengatakan ada Aruna di antaranya, Garen hanya berusaha tidak mengerti dibawah kenyataan dia sangat tahu alasan Aruna muncul di tengah-tengah acaranya menyatakan cinta pada Oza. Namun sayang, tidak ada solusi untuk itu. Garen juga menyayangkan Aruna yang tiba-tiba saja muncul meruntuhkan segalanya. Pertahanan dan keputusannya.
Suara derit pintu segera membuyarkan pikirannya, Garen menghela nafas berat dan melangkah masuk ke ruangan Pak Heru, dosen pembimbingnya. Tak lupa dia mengucap salam. Setelah diijinkan duduk, Garen tak henti-hentinya merapalkan doa dan menggerakan kakinya dengan gelisah. Konsultasinya berjalan dari menit ke menit dan membawanya keluar ruangan dengan lesu.
Terngiang jelas perkataan dosen pembimbingnya bahwa Garen harus berurusan dengan kombi* untuk mengganti beliau dengan dosen pembimbing baru, karena Garen dianggap tidak serius dalam menjalankan skripsinya, alasan lainnya juga bisa terjadi karena konsentrasi yang diambil Garen tidak cocok dengan dosen pembimbingnya. Dia berjalan menatap lantai dengan pandangan kosong. Entah hari ini tujuannya kemana lagi. Selain studio yang masih menyisakan kenangan tidak mengenakan, dia masih tidak ingin kesana untuk sementara. Sebelum Garen membuka pintu mobilnya, handphone miliknya bergetar. Satu panggilan masuk dari Nata.
"Halo. Kenapa, Nat?"
"Lo udah selesai bimbingan kan?"
Garen memainkan kunci mobilnya, dia menarik nafas dan segera mengembuskannya. Tangannya bergerak membuka pintu mobil, duduk di tempat kemudinya, "Iya, ini gua udah mau pulang."
"Ke studio sekarang, nanti gua jelasin. Nggak lewat telepon."
"Ada masalah apaan? Junet apa band?"
"Band."
Setelah memastikan sambungan terputus sepihak dari Nata, Garen menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya menuju studio. Di sepanjang perjalanan, Garen hanya menatap jalanan tanpan pikiran macam-macam tentang band dan temannya. Dia terlalu lelah untuk itu. Selang lima belas menit dari kampus, Garen sekarang telah berada di depan studionya, dia sedikit berlari karena entah darimana rintik hujan mulai berdatangan.
Saat membuka pintu studio, wajah lesu Alpa yang pertama kali menyambutnya. Laki-laki itu duduk di kursi lurus dengan pintu masuk, di sebelahnya ada Nata yang memegang lembaran kertas. Garen melangkah masuk, Junet dan Agap baru terlihat duduk lesehan sambil bersandar pada sofa. Keningnya berkerut. Semua orang terlihat sangat murung, dia tergerak untuk ikut duduk di bawah bergabung bersama Junet dan juga Agap.
"Muka lo semua pada kenapa?" Mulai Garen untuk memecahkan keheningan yang sepertinya tidak akan berakhir.
Tangan Nata mengulurkan kertas yang dia pegang sedari tadi, "Label music yang mau ngajak kita, nggak ada. Palsu. Gua udah cek perizinan usaha setempat ternyata mereka nggak terdaftar, bangunan yang pernah kita datengin juga bukan hak milik, disewa perlantai doang," Nata menarik nafasnya saat melihat Garen hanya menatap dan menyimaknya dengan seksama, "Kita ditipu." Tembak Nata tepat pada intinya.
Garen kembali menatap kertas yang menunjukkan kontrak band dan juga data perusahaan yang ternyata palsu. Jantungnya seperti baru saja terhantam. Kepalanya berdenyut. Garen mencoba menjernihkan pikirannya, matanya tertuju kembali pada Nata.
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...