Selepas kepergian Garen, Aruna maupun Linggar tidak mengatakan apa-apa. Mereka hanya berjalan memasuki mobil dengan tenang dan diam di sepanjang perjalanan. Kali ini Aruna merasa perjalanannya ke Bandung begitu lama, mobil yang berlalu lalang biasanya menjadi hal yang menarik namun kini menjenuhkan. Berada di dalam mobil yang sama dengan Linggar tidak pernah setegang ini sebelumnya. Tidak pernah sekalipun dia merasa tidak nyaman.
Setelah diam-diam melirik Linggar yang tidak tergugah sama sekali dalam kegiatan menyetirnya, Aruna tertidur. Laki-laki itu yang bergantian mencuri pandang menatap wajah teduh Aruna. Bukan sekali dua kali mereka bertengkar dalam diam, namun entah kenapa hari ini sangat mengganjal perasaannya. Lima tahun berlalu ternyata masih belum cukup untuk mengerti lebih banyak tentang Aruna, tentang apa yang benar-benar ada dipikiran Aruna.
Sampai saat ini pun Linggar merasa dia dan Aruna semakin jauh dan semakin kuat pula perasaan atas mencintai perempuan yang merupakan adik dari temannya itu. Kilas balik pertemuannya dengan Aruna masih dia inget dengan jelas. Bagaimana Aruna tersenyum dan menyapanya terlebih dahulu. Begitu jelas sampai dia lupa ada sosok yang selalu menjadi bayangan pada diri Aruna. Laki-laki yang jauh lebih muda darinya ada disana.
Garen, laki-laki yang lebih lama berada disana. Ketika dirinya tidak ada untuk Aruna, disanalah Garen memposisikan dirinya sebagai pengganti. Linggar tidak bisa membencinya dan juga tidak bisa menyingkirkannya. Dia cukup tahu diri untuk ukuran orang dewasa yang harusnya mengerti dan memahami banyak hal. Namun sayangnya dia tidak bisa memahami hatinya sendiri, rasa sakit terus menerus datang ketika dia yang memilih mengalah.
Tidak ada yang salah untuk menjadi egois atas sesuatu yang memang miliknya, Linggar pikir begitu. Namun rasa bersalah telah menyakiti hati Garen juga tidak terkendali, padahal dia tidak bermaksud sama sekali saat mempertahankan egonya. Belum lagi Aruna yang sejak tadi tidak mengatakan apapun, untuk sekedar marah pun perempuan itu memilih untuk tidak melakukannya. Dalam hati, Linggar memohon untuk mengembalikan Aruna seperti biasanya, yang selalu menyanggah apapun tindakannya.
Apapun itu, Linggar tidak pernah mendapatkan apa yang diinginkan. Sesampainya di Bandung, Aruna masih dalam diamnya dan berjalan mendahului masuk ke apartmentnya. Suara bising jalan raya menemani Linggar dan Aruna yang duduk berhadapan di ruang tamunya. Ada jeda begitu lama untuk memberanikan diri berbicara satu sama lain.
"Makan dulu ya? Aku masakin." Kata Linggar dengan hati-hati.
Aruna menatapnya, ada senyum tipis yang terukir di bibirnya, "Iya," kepalanya mengangguk seiring dengan perkataannya.
Linggar segera beranjak dan memasakan Aruna sesuatu yang sederhana, seperti biasanya. Dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, Linggar maupun Aruna sama-sama mampu menahannya untuk tidak meledak saat itu juga. Suasana canggung di dalam apartment sangat pekat. Aruna berjalan pelan ke arah meja makan, duduk disan menunggu Linggar selesai dengan masakannya.
Setelah siap semua, mereka menyantap makan malam dalam diam. Hiruk pikuk isi pikiran masing-masing lebih dominan daripada ramainya bunyi kendaraan di luar sana. Mereka menyelesaikannya dengan tenang, tanpa percakapan dan tanpa terjadi perdebatan. Diam-diam Aruna beranjak dari duduknya dan berdiri di depan jendela kaca yang menampakan kota Bandung. Linggar meliriknya sekilas, tangannya bergerak membereskan piring dan menaruhnya pada tempat cuci piring.
Dia berjalan menghampiri Aruna yang berdiri dengan tangan terpaut, "Mikirin apa?" Tanya Linggar, badannya ikut sejajar bersama Aruna.
"Kamu? Mungkin." Ucapnya dengan sedikit keraguan, tanda tanya berada disana begitu samar. Aruna tidak memanglingkan wajahnya.
"Aku? Kenapa?"
"Karena kamu beda." Aruna menoleh, tatapannya jatuh tepat pada manik mata Linggar yang hari ini lebih bersinar dari waktu kapanpun.
![](https://img.wattpad.com/cover/215756140-288-k269265.jpg)
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...