Suara nyaring alarm membangunkan Garen yang masih berada di alam bawah sadar. Dengan sangat tidak ikhlas dia membuka matanya dan merogoh handphone dibalik punggungnya itu. Matanya menyipit ketika melihat jam pada handphonenya, pukul sembilan pagi yang berarti Garen lupa bahwa kemarin dia dimintai Aruna untuk mengantarnya ke kampus. Rambutnya yang sudah berantakan itu diusapnya kasar, bersamaan dengan tubuhnya yang berjalan lunglai ke arah kamar mandi.
Aruna pasti mengomelinya nanti, jadi dia lebih baik segera beranjak sebelum jam dua belas siang karena pasti perempuan itu akan memastikan Garen sudah bangun. Lagi pula hari ini Garen harus berkumpul dengan teman bandnya membahas urusan label music serta kontraknya.
Setelah hanya membutuhkan waktu sepuluh menit berada di dalam kamar mandi, Garen keluar dengan wajah yang lebih segar. Rambutnya yang basah dan wajah berseri-seri itu kini menjadi perhatiannya di depan cermin. Berkali-kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia sudah terlihat tampan. Tingkat percaya diri seorang laki-laki memang selalu di atas rata-rata. Garen menyambar kunci mobil dan juga tasnya setelah memastikan penampilannya untuk yang terakhir kali.
Kakinya menuju ke lantai dasar rumahnya dan menemukan Bundanya sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Garen tersenyum dan menghampirinya, "Pagi Bunda," Bibirnya mendarat tepat di pipi sang Bunda dan disambut dengan usapan pada rambutnya yang sedikit basah.
"Ini buat Bunda udah siang. Kamu tuh dibangunin sama Nana daritadi pagi, tapi dianya keburu nyerah duluan. Abang abis ngapain sih semalem? Begadangin skripsi ya?"
Garen mengambil satu jajanan pasar yang ada diatas meja tamu itu dan menggigitnya, "Begadangin lagu, Bun, kan dua bulan lagi band udah harus siap rilis lagu kalau jadi. Doain ya, Bun." Ucapnya tak begitu jelas dengan mulut yang masih mengunyah.
"Bunda nggak mau tau loh kalau kamu dimarahin Ayah kalau kuliahnya keteteran gitu."
"Ya jangan di doain begitu ih Bunda, doain aja Ayah nggak tau."
Bundanya itu mencibir mendengar penuturannya, rambutnya kembali diusap, kali ini lebih kasar dan membuatnya sedikit berantakan, "Pokoknya Bunda pesen satu doang, lakuin yang terbaik buat Abang, udah gede pasti bisa bedain kan mana yang baik sama buruk."
Akhirnya Garen berdiri dari duduknya, "Siap Bunda, kan ada Tata yang bisa ingetin Abang," ujarnya dengan sebuah senyuman, dia meraih tangan sang Bunda dan menciumnya.
"Makanya jangan dijahatin terus itu si Nana, nanti dia kabur dari kamu."
"Assalamualaikum, Abang berangkat dulu," Jawabnya mencoba tidak mendengar ucapan terakhir Bundanya. Suara teriakan Bundanya semakin mengecil dan hilang ketika dia menutup pintu rumahnya. Garen pun berlari kecil ke halaman rumahnya setelah memasang sepatu, dan kebetulan dia melihat Mama Aruna berdiri di sana sedang menata tanaman.
"Pagi, Ma," tangannya terulur meraih tangan wanita tersebut dan menyalaminya persis seperti apa yang dia lakukan pada Bundanya, tak lupa dengan sebuah senyuman, "Garen berangkat dulu."
"Yaudah sana, ati-ati di jalan. Nanti pulangnya jangan lupa suruh Nana langsung pulang ya, jangan dibolehin kelayapan."
Setelah mengangguk mengiyakan ucapan Mama Aruna dan mengucapkan salam, Garen beranjak untuk mengeluarkan mobilnya dari garasi. Untuk beberapa bulan ke depan mungkin dia tidak menggunakan motornya, sebab masih sering-seringnya hujan. Dia harus membawa Aruna dan juga Oza kemana-mana tanpa kehujanan. Ya, sekarang tanggungnya bertambah. Seperti apa yang dikatakannya pekan lalu, Garen serius dengan pernyataan bahwa Oza telah mengambil hatinya.
Tidak ada yang keberatan akan hal itu, dia rasa Aruna juga tidak. Perempuan itu justru senang dengan perubahan yang ada pada dirinya saat ini. Lebih banyak berbicara dengan orang ternyata menyenangkan, karena selama ini dia selalu bersikap begitu dingin dan tidak peduli. Hanya di rumah saja Garen adalah sosok yang hangat dan selalu dimanja oleh sang Bunda. Namun, jika di kampus atau dimanapun, Garen berubah jadi sosok yang tak tersentuh dan hanya bermain-main dengan apa yang dia mau.
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Aléatoire"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...