Sudah seminggu berlalu setelah kejadian di Lembang saat itu, tapi Aruna masih berdiam diri tanpa inisiatif datang kepada Garen maupun Linggar. Kotak berisi cincin itu masih ada dengannya karena Linggar menyuruhnya untuk menyimpan benda tersebut sampai Aruna benar-benar telah menemukan jawaban. Dan Garen mulai menghindarinya, atau lebih tepatnya melakukan hal yang tidak bertepatan dengan Aruna agar tak berpapasan.
Ketika setiap jam tujuh pagi Aruna akan memanggil Dewa untuk minta di antar ke kampus, Garen memilih berangkat lebih awal. Saat di kampus pun Garen lebih sering menghabiskan waktunya di ruangan UKM musik sampai-sampai Aruna tidak tahu sama sekali apa laki-laki itu sedang mengerjakan skripsinya atau tidak. Postingan instagram yang selalu muncul hampir setiap harinya kini tidak ada lagi, Garen berhenti mengunggah kegiatannya bermain bass atau gitar maupun nyanyiannya.
Tidak ada yang lebih sepi dari perasaannya saat ini. Hari-harinya terasa kurang meskipun dia mencoba berpikir positif bahwa Garen butuh waktu untuk berbaikan dengannya. Kali ini Aruna sadar bahwa dia yang salah, perkatannya yang mungkin menyakiti hati Garen. Dia tidak tahu, bagian mana yang begitu melukainya. Aruna hanya paham bahwa apapun yang membuatnya bertengkar dengan Garen selalu dia yang menyakiti, karena sifatnya yang tidak mau mengalah.
Sudah hampir dua jam kali ini dia menatap langi-langit kamar dengan satu cicak disudutnya. Siang telah berlalu menjadi sore dan Aruna masih mencari solusi bagaimana berbaikan dengan Garen. Karena hari-harinya terasa semakin aneh tanpa kehadiran laki-laki tersebut. Lamunannya buyar ketika Mamanya berteriak memanggil meminta bantuan, dia segera beranjak dan berlari dengan kakinya yang bergerak lincah.
"Kenapa, Ma?"
"Ini kamu kasih ke Dewa sama Garen, tadi Mama janji bikinin rainbow cake abis bersihin halaman samping rumah."
Wajahnya berubah lesu, Aruna menaruh kepalanya pada meja makan dan menatap rainbow cake itu. Tangannya hampir mencuil sedikit sebelum Sang Bunda memukulnya.
"Udah ketebak adek berantem kan sama Garen? Kenapa lagi?"
"Dua hari yang lalu kan aku cerita ke Mama masalah cincin itu.."
"Iya terus apa hubungannya?"
Kali ini Aruna menegakkan badannya, menatap Sinta—mamanya, yang sedang sibuk memotong kue berwarna-warni itu, "Ya marah lah ke aku sama yang kayak Mbak Jeje bilang pas aku curhat waktu itu."
Sinta tersenyum menanggapi, "Emang Garen bilang apa?"
"Bilang kalau aku masih jauh dari kata dewasa, lulus aja belum mau mikir begituan katanya. Dia kan sensian Ma kalau masalah Mas Linggar, yang dibahas tuh umur terusss."
"Naksir adek kali," ucapnya menggoda Aruna.
"Naksir gimana? Orang kemarin dia udah gandengan aja sama cewek yang sengaja aku kenalin ke dia. Mana ada naksir aku, Ma, kelakuannya juga ngajak berantem terus kok."
Kegiatan memotong kue sudah selesai, sambil berjalan menaruh piring dan pisau ke tempat cuci piring, Sinta mengulum bibirnya tersenyum, "Terus ini kamu maunya nikah sama siapa? Linggar apa Garen?"
"Mama!? Kok jadi Garen, sih?"
"Loh bener kan, kamu nggak suka Garen beneran jadi sama cewek yang kamu kenalin."
"Nggak gitu, Mama Sinta yang cantik," ucap Aruna dengan penuh penekanan, matanya menatap kesal.
Satu piring penuh cake berwarna-warni itu disodorkan tepat di depan Aruna, "Udah sana sekalian baikan, nikahnya nanti aja kamu minta ijin Papa dulu. Kalau mama sih udah iya, biar kayak Mama."
Aruna memutar bola matanya malas, "Aku nggak bisa bikin kue kayak Mama jadi nggak bakal deh buka toko kue. Terus Mama sama Papa itu sepuluh tahun, aku sama Mas Linggar delapan tahun."
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...