Aruna duduk di pojok ruangan sekretariat jurnalistik. Tatapannya kosong. Lututnya tertekuk seraya kepalanya menunduk semakin dalam. Dia tidak tahu perasaan apa ini. Keinginannya untuk menghilang saat ini begitu besar, Aruna tidak ingin melihat Garen dimanapun. Dia tidak ingin repot-repot menjelaskan mengapa sore tadi dia membuka pintu studio, mengapa pergi dari sana saat itu juga, dan mengapa dia bertingkah aneh seperti ini. Lo udah gila, bukannya lo sendiri yang bawa Oza ke Aksa, kenapa lo ngerasa ditinggalkan, Tata ... batin Aruna, tangannya menelungkup di atas lutut. Menenggelamkan kepala menyadari kebodohannya.
Di luar sana sedang hujan dengan rintik-rintiknya yang tidak menampakan tanda akan berhenti. Hujannya bertahan lama. Namun langit sudah mulai tampak menggelap, perpaduan antara mendung dan waktu yang berjalan semakin petang. Aruna bergegas meraih handphonenya, mendial kontak Zeline Athalamoy, lebih singkatnya Moya, yang jelas tidak akan menjawab panggilannya. Percobaan yang kelima, dan dia menyerah. Alton adalah orang kedua yang dicobanya.
Berulang kali Aruna menekan tombol panggil namun hasilnya juga sama, tidak ada jawaban. Bahkan dipercobaan yang hampir kesepuluh kali. Dia pun juga memilih menyerah. Dua pasangan mahasiswa kedokteran itu memang selalu sibuk. Kali ini opsi paling terakhirnya adalah Dewa, semoga saja laki-laki itu sedang tidak berpacaran dengan komputernya. Jarinya bergerak gelisah menunggu jawaban panggilan dari Dewa, bunyi tersambung terus terdengar.
Tidak ada jawaban. Sudah dapat ditebak telinga Dewa tersumbat oleh headphone dan matanya terpaku pada komputer. Dengan pasrah, Aruna akhirnya berdiri dan menyambar tasnya untuk keluar dari ruangan yang begitu gelap ini. Dia duduk di teras depan sambil memasang sepatunya, setelah itu diam kembali. Memandangi rintik hujan yang terus-menerus turun tidak ingin berhenti. Aruna menghembuskan nafasnya berat. Tidak ada pilihan lagi selain menggunakan aplikasi antar-jemput online, menggunakan uang sakunya yang sudah menipis, lagi.
Aruna menunduk dan berkutat dengan handphonenya. Namun sebelum dia benar-benar memesan jemputan tersebut, sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Entah kenapa kesialan menyukainya hari ini. Laki-laki itu baru saja membuka helm dan turun dari motornya. Sepersekon kemudian dia menatap Aruna yang sedang duduk di bawah teras dengan senyum canggungnya.
"Loh, Runa? Ngapain disini?" Tanya Alpa seraya mendekat padanya.
Aruna mencoba untuk tersenyum tanpa paksaan, meskipun kini dia sangat ingin berlari, "Udah mau pulang kok ini, Bang. Duluan ya," Jawabnya sambil terburu-buru berdiri, namun gerakannya kalah cepat. Alpa lebih dulu menahan tangannya dan membuatnya mengucap sumpah serapah dalam hati. Sungguh dia tidak ingin berada di dekat laki-laki ini untuk waktu yang lama.
"Gua anterin pulang. Tunggu bentar ambil flashdisk sama buku referensi gua. Jangan kemana-mana," Alpa berlari kecil meraih kunci dari sakunya, membuka ruang sekretariat yang tadi sudah dikunci oleh Aruna dengan gerakan cepat.
Mau tak mau, Aruna pun menunggu dan urung memesan ojek online. Angin dan rintik hujan menerpa lembut wajahnya, rambutnya bergerak mengelitiki separuh wajah, dia mencoba menyingkirkannya di balik lipatan telinga. Beberapa menit berlalu, Alpa akhirnya keluar dengan satu kantong plastik yang dapat ditebak isinya adalah buku. Aruna berdiri dan menawarkan untuk mengambil alih kantong plastik tersebut.
"Nggak usah, gua taruh di depan aja,"
"Itu buku, jangan ditaruh dibawa, motor lo kan nggak ada gantungannya. Udah nggak papa gua pegangin."
Aruna pun merebutnya dari Alpa, dia berjalan mendahului dan memasang helm cadangan yang selalu Alpa bawa kemana-mana. Entah untuk apa.
"Btw, Na, lo ngapain disini? Bukannya nggak jadi rapat tadi?"
Bersama dengan Alpa yang mulai menstarter motornya, Aruna duduk di belakang dengan buku-buku Alpa yang ada di antara mereka berdua, "Ada yang ketinggalan juga tadi," bohongnya, Alpa tahu perempuan ini tidak mungkin kembali kesini hanya karena barangnya yang tertinggal. Aruna terlalu tidak peduli untuk mengurus barang-barangnya yang tercecer di segala tempat.
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...