"Aksa.."
Aruna mengetuk pintu kamar balkon dengan gerakan lemah. Sekarang masih sangat pagi, bukan, lebih tepatnya dini hari. Langit di luar bahkan masih berwarna biru gelap dan angin berhembus kencang. Mimpi buruk membuatnya terbangun, tidur yang seharusnya berlanjut sampai siang hari nanti pada minggu tenangnya itu menjadi sebuah ekspektasi yang pupus. Di rumahnya sedang tidak ada siapapun. Mama dan Papanya harus berangkat ke Surabaya kemarin sore karena acara keluarga, dan Aruna jelas menolak ikut. Hanya ada kakak perempuannya—Jesya, di rumah.
Selain tidak ingin menggangu tidur kakaknya, Aruna juga tidak ingin berdebat dan terkena omelan di jam segini. Jesya tidak akan mau diganggu, jawaban pastinya. Dan kebetulan memang hanya Garen yang akan meladenaninya dengan pasrah, atau mungkin dengan senang hati.
"Bangun dong," Suaranya serak kian mengeras karena udara semakin dingin. Aruna mengeratkan selimut pada tubuhnya sambil berusaha menarik knop pintu. Di kunci.
"Aksa, bukain dong."
Dengan tak sabar, akhirnya dia mulai menggedor pintu tersebut sambil berharap Garen segera membukakan pintu untuknya. Tepat sebelum ketukan kelima, wajah bantal Garen menyambutnya.
"Apa sih, lo nggak liat jam apa? Kalau mau gangguin gua ntar pagi aja."
Pintu sudah hendak di tutup lagi sebelum terhenti karena perkataan Aruna, "Gua barusan abis mimpi bunuh lo." Jawab Aruna dengan sangat putus asa.
Garen menatap Aruna malas, "Tata, nggak lucu. Sekarang di kamar lo ada apa lagi? Hantu? Zombie? Begal?"
"Serius, ini gua nggak mau gangguin lo kok. Numpang bobo aja."
"Lo abis nonton film horror lagi!?"
Aruna mengangguk, "Boneka kelinci di kamar, melototin gua."
Akhirnya Garen membuka pintunya sedikit lebar dan membiarkan Aruna masuk. Perempuan itu pun segera mendaratkan tubuhnya di kasur Garen dan menyamankan posisi tidurnya. Perlahan Aruna menyingkirkan selimut Garen ke tepi kasur dan melebarkan selimut miliknya sendiri untuk di pakai. Sedangkan Garen berjalan ke pintu kamarnya, membuka lebar pintu tersebut dan berjalan ke arah lemari. Selimut tebal berukuran besar itu dikeluarkannya dan dibentangkan pada lantai kosong di sebelah kasur, yang kini sedang ada Aruna memperhatikannya.
Aruna mengernyit dengan heran, "Lo nggak tidur di kamar Dewa aja?"
"Gua temenin."
Hening. Dengan canggung, Aruna memberi Garen bantal dan selimut milik lelaki tersebut. Garen melemparkan bantalnya ke lantai dan menerima kain tebal itu dan memilih menggelarnya untuk menyelimuti tubuh Aruna. Ketelatenannya membenarkan letak selimut yang dipakai Aruna membuat perempuan itu terdiam menunggu Garen memberinya alasan.
"Pake lo aja, lagi dingin banget." Ucap Garen akhirnya.
"Tapi, lo lagi tidur di lantai, Sa."
"Udah nggak usah protes, gua ngantuk."
Setelah itu Garen benar-benar memunggunginya dan kembali memejamkan mata. Suara para hewan malam samar-samar terdengar dari jendela dan matanya tidak bisa terpejam. Aruna menatap pintu kamar Garen yang terbuka, cahaya lampu di dalam rumah sedikit memancarkan sinarnya sampai ke kamar Garen. Pandangannya terus berputar dan menatap apapun yang terlihat menarik di sekitar kamar Garen. Sampai akhirnya iris mata mereka bertemu saling menatap, yang entah sejak kapan Garen sudah menghadapkan badannya ke arah kasur,
"Tidur."
"Lo juga."
Aruna pun memejamkan matanya, menghembuskan nafasnya secara perlahan dan tenang agar tubuhnya bisa berkompromi untuk segera tidur. Semakin lama semakin panjang deru nafasnya, dia hampir jatuh tertidur. Tapi suara berat dan rendah milik Garen menginterupsinya, "Ta,"
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Acak"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...