Oktober, 2018.
Weekend adalah waktu yang tepat untuk balas dendam tidur seharian, setelah lima hari penuh dengan jadwal kuliah. Seperti Garen yang saat ini sedang memeluk gulingnya dengan sangat erat, tubuhnya sudah berputar 180 derajat serta selimutnya yang terlempar entah kemana. Semalam dia telah berdoa agar paginya damai tanpa ada yang mengganggu.
Belum ada lima menit mimpi indahnya berlanjut, suara nyaring Aruna mulai bersua. Belum lagi pintu balkon yang sudah dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk membangunkan Garen yang masih terlelap. Bukan Aruna jika dia tidak mengganggu setiap harinya, kini perempuan yang terlihat sudah mandi itu menjatuhkan tubuhnya dengan keras di atas kasur Garen.
"Sa, bangun dong, gua udah nyanyi dari pagi tadi lo masa nggak melek sama sekali sih!?"
Tidak ada jawaban, Garen hanya berpura-pura tidak terganggu dan berusaha memejamkan matanya tanpa menghiraukan Aruna. Perempuan itu nampak jengkel dengan kebiasaan buruk Garen yang selalu mengabaikannya. Tidak tanggung-tanggung mengganggu Garen, kini Aruna telah berpindah di depan drum.
Dia memukul benda tersebut tanpa irama, jika Garen tidak menyerah maka Aruna tidak. Lihat, kini Garen mulai menarik guling ke atas kepala untuk melindungi gendang telinganya.
"Gua bilangin bunda ya lo, Ta,"
Garen menegakkan tubuhnya, tidak tahan dengan gangguan Aruna yang semakin menjadi-jadi. Bayangkan saja, sekarang baru jam tujuh pagi dan dia sudah membuka matanya—dengan sangat tidak ikhlas. Padahal, Sabtu pagi bagi Garen adalah saat suara adzan dhuhur mulai berkumandang. Itu alarmnya, dia baru akan bangun, mandi dan sholat.
"Bunda lo lagi ke pasar sama Dewa, Ayah lo lagi kerja bakti di lapangan deket masjid. Lo jam segini masih molor, anak durhaka."
"Gua tidur abis subuh."
"Ngapain?" Tanya Aruna dengan alis yang terangkat curiga.
"Nonton."
Kini tatapan Aruna berubah sangat tajam ke arah Garen yang sedari tadi sudah pindah posisi di depan meja belajar. Garen yang merasa sedang di tatap itu menolehkan wajahnya, menemukan Aruna melihatnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Bola matanya berputar malas dengan tuduhan tidak terucap dari Aruna itu.
"Otak lo, nonton bola gua," Tegas Aksara, dia meraih botol minum yang ditaruhnya semalam. Meneguknya sedikit.
"Gua nggak ngomong apa-apa ya!" Balas Aruna dengan nada penuh emosi.
"Cepetan, maksud dan tujuan lo bangunin gua," Aruna berjingkat dan menghampiri Garen dengan senyuman diwajahnya. Pasti ada sesuatu yang dia inginkan dari Garen.
"Anterin ke kampus, hehe, sama beli perlengkapan buat dies natalis fisip minggu depan."
Benar, kan. Jika wajah Aruna sudah penuh dengan kerut yang terbentuk dari senyum lebarnya itu, pasti sedang ada maunya. Garen sudah hafal dengan tabiat perempuan yang sedang mencolek-colek punggungnya itu.
"Bukannya kalau weekend pacar lo dateng? Kemana tuh si Linggar Linggar?"
"Agak sorean katanya, lagi sibuk."
"Makanya, pacaran kok sama om-om."
Satu pukulan mendarat di punggung Garen, yang disahuti rintihan kecil dan tatapan kesal Garen. Aruna menjulurkan lidahnya, "Ketimbang kowe? Jomblo,"
Sebelum Garen murka pagi ini, Aruna segera menghindar dari Garen dan berlari ke depan pintu balkon kamar, "Yaudah ayo anterin, ntar gua traktir deh."
"Lagian lo ngapain ngurusin dies natalis, beli perlengkapan lagi, emang lo anak perkap? Udah tinggal seminggu juga baru beli, apaan sih anjir," Garen mulai mengomel.
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Altele"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...