"Ma, Mas Linggar dimana?"
"Di halaman samping, lagi ngobrol sama papa."
Aruna mendengus, "Ngomongin apa sih!?" gerutunya sambil berjalan sedikit menghentak. Pasalnya sudah berjam-jam malam ini mereka mengobrol di samping rumahnya dengan secangkir kopi. Waktu yang seharusnya menjadi miliknya dan juga Linggar, justru tersita dengan obrolan yang belum tentu penting antara Papa Aruna dan juga Linggar. Paling mungkin adalah bahasan tentang kerjaan.
Dia menarik knop pintu, kepalanya melongok ke samping kiri, badannya sigap segera menghampiri dua pria yang sedang asik dengan obrolannya itu.
"Jangan disita mulu pacar aku, Pa," dia berdiri persis di depan kedua prianya, dengan tangan yang bersedekap. Merajuk begiu jelas.
"Telat sayang, Linggar bentar lagi udah mau berangkat ke Solo," papanya itu berdiri dan mengelus rambut Aruna pelan, "Sekarang papa balikin pacar kamu, jangan lama-lama, daritadi ditelfonin terus itu."
Selepas kepergian Papa Aruna yang tidak lupa dengan kopinya, perempuan itu segera mengambil tempat di sebelah Linggar. Tatapannya jatuh pada kotak kecil yang baru saja Linggar keluarkan dari saku jaketnya, hatinya berdebar tidak karuan.
"Tadi bahas ini ya sama papa..." suaranya semakin mengecil di ujung kalimat.
Linggar menggeleng lemah, senyumnya menyungging sedikit, "Tanpa aku kasih tau papa kamu, dia tau apa yang ada dipikiran aku sekarang."
Alisnya terpaut, "Aku dua minggu di Solo, nanti kalau sempet aku telfon tiap habis rapat ya. Atau jam 10 malem, biasanya aku udah ada di hotel jam segitu. Ayo anterin aku ke depan sama pamitan juga," tangannya menarik Aruna untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Aruna tidak mengeluarkan suara apapun, karena tiba-tiba kekasihnya itu bersikap begitu aneh. Tak biasanya Linggar se-diam ini, pria itu selalu berpesan banyak hal saat hendak pergi keluar kota untuk dinas. Tapi kali ini hanya ada janji yang belum tentu ditepati. Menelfonnya disaat senggang? Mustahil, Linggar tidak pernah punya waktu kecuali dalam wujud nyata ketika berada di depannya.
Setelah berpamitan kepada papa dan mamanya, dia membuntuti Linggar yang berjalan keluar. Tangannya masih berpautan. Suara alarm mobil Linggar berbunyi, pria itu berbalik badan dan menatapAruna. Siapa yang tidak menyadarinya jika Aruna juga tiba-tiba diam seribu bahasa dan hanya menyentuh lengannya sendiri tanpa alasan. Linggar tahu.
"Jangan lupa makan tepat waktu, mandi yang rajin, jangan suka molor kalau bangun, seblaknya seminggu sekali aja, yang serius kuliahnya, jangan berantem terus sama Garen. Okay?" kontrasnya tinggi badan mereka membuat Aruna harus mendongak ketika tangan Linggar beralih pada pipinya. Mengusapnya dengan lembut.
"Maafin aku."
"Buat apa?"
"Udah bikin kamu nunggu—"
Aruna segera memotong perkataannya sambil menggeleng pelan, "Nggak papa, udah pernah aku bilang berkali-kali juga kan, aku selalu bisa nunggu kamu."
Hanya senyum tipis dari Linggar sebagai balasannya. Pria itu tidak mengatakan apapun, dan sebagai gantinya dia membawa wajah Aruna lebih dekat. Satu kecupan mendarat pada keningnya. Bersamaan dengan gurat merah pada pipi Aruna, dia memundurkan badannya satu langkah.
"Kali ini kamu nggak perlu," terakhir, Linggar mengacak poni rambut Aruna, "Aku pamit dulu."
Dia bahkan tidak memberi Aruna kesempatan untuk membalas perkatannya. Pria itu segera memasuki mobilnya, tanpa berniat menurunkan jendela kaca untuk melambaikan tangan atau sekedar tersenyum. Aruna menatap mobil hitam legam milik kekasihnya itu menjauh. Menghilang di belokan pertama dan sepi.
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...