"Ta?"
"Hm?
Garen masih menjatuhkan dagunya dipundak Aruna, sudah hampir lima menit berlalu tetapi pelukannya tidak terlepas. Hanya ada dua kemungkinan, pertama karena Aruna malu menatap Garen setelah menangis seperti anak kecil, dan yang kedua karena keduanya terlanjur nyaman dalam posisi tersebut.
"Ini mau sampai kapan?" Tanya Garen lagi, meskipun dia bertanya seperti mengakhiri, jauh di dalam hati dan dengan kejujurannya dia tidak ingin pelukan ini terlepas dan tidak akan terjadi untuk kedua kalinya. Bahkan tangannya masih setia di punggung sempit milik Aruna, menepuk lembut disana.
Aruna berdeham canggung, perlahan dia memundurkan badannya sambil menggosok air mata yang tersisa di sudut matanya, "Maaf, gua lagi emosional banget kayak ABG."
"Kenapa? Linggar nggak mau pulang ya?" Ujar Garen tanpa berpikir dua kali. Aruna pun menatapnya garang.
"Bisa diem nggak? Jangan ngomongin Linggar lagi."
"Nikah kali tuh orang di Solo."
Satu pukulan hampir mendarat di lengan Garen dan sebelum itu terjadi, Garen terlebih dahulu menahannya. Menatap Aruna menyelidik, mencari-cari sesuatu dibalik iris mata Aruna yang terlihat lebih sendu dari biasanya. Keraguan dan kebimbangan ada dibaliknya, jauh disana disembunyikan dengan amat baik. Garen bahkan tidak tahu sejak kapan rambut Aruna jauh lebih pendek dari biasanya, bahkan ada poni tipis menutupi dahinya. Sesuatu terjadi atau mungkin akan terjadi, Garen hanya bisa menebak.
Menggunakan kesempatan ini dengan baik, Aruna menelusuri wajah lebam Garen dengan seksama. Sepersekian detik berikutnya, Aruna menghempas tangan Garen yang menahannya dan beralih pada hidung mancung yang mengalihkan perhatiannya. Dengan cekatan Aruna menangkup wajah Garen dan menyentuh goresan pada hidungnya perlahan. Sedangkan Garen menatap dengan kebingungan, menghadapi wajah Aruna yang begitu dekat begitu menyusahkan.
"Garen lo dipukuli gimana kok bisa berdarah di hidung?" Tanya Aruna sedikit panik saat tangannya mengusap darah yang keluar dari luka gores pada hidung Garen.
Garen pun ikut menyentuh, dia meringis sedikit. Dia melihat jarinya yang terdapat sedikit darah, lalu dia menggeleng, "Nggak tau, kena cincinnya kali pas dihajar tadi sama orang," katanya tidak terlalu memedulikan hal tersebut. Lain dengan Aruna yang tidak bisa menghilangkan raut khawatirnya, melihat itu Garen mengambil tisu dan mengusap darah pada tangannya serta tangan Aruna.
"Gua nggak papa, Tata. Udah tenang aja, nggak bakal beginian lagi kok gua." Diacaknya pelan pucuk rambut Aruna dengan sebuah senyuman di wajahnya.
Ketika Aruna hendak menyanggah pernyataan dari Garen, pintu mobil terbuka dan Nata duduk di balik kemudi dengan tenang. Namun tanpa sepengetahuan mereka berdua, Nata sebenarnya sudah berdiri di luar mobil dari kejauhan menatap Garen dan Aruna yang saling berpelukan. Tidak bohong jika Nata tersenyum sedikit tadi, bahkan saat ini pun dia masih menahan agar tak tersenyum lebar.
Tak lupa Nata memberikan satu kantong plastik dari minimarket tadi kepada Aruna, "Lo obati dulu sana. Abis itu makan ayam bakar Dago, gimana, mau nggak?"
Garen mengangguk mengiyakan, begitu juga Aruna. Setelah itu Nata kembali fokus pada posisinya di depan sana, dia melajukan kembali mobilnya membelah jalanan Bandung malam. Garen dengan mata terpejam bersama tangan Aruna yang bergerak di wajahnya, mengusap bagian-bagian yang terluka. Dengan sangat berhati-hati, Aruna kini memberi cairan pereda nyeri pada lebam-lebam yang ada di wajah Garen. Dan ketika Garen meringis menahan ngilu pada wajahnya, Aruna akan tiba-tiba panik dan berhenti melakukannya sementara.
Sedangkan Nata memutar bola matanya malas setengah jengah. Untuk hari ini, dia mengikhlaskan dirinya sebagai sopir dadakan dua manusia yang sepertinya sedang saling mengasihi. Meskipun obrolannya sedari tadi tidak dihiraukan sama sekali.Karena suara Aruna yang bertanya apakah gerakannya terlalu kasar pada Garen lebih dominan dan berulang kali memasuki indera pendengarannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/215756140-288-k269265.jpg)
YOU ARE READING
Kita [ WENYEOL ]
Random"Terlalu banyak mencari celah sampai kamu lupa sesuatu itu butuh dirasakan, bukan nampak atau tidaknya." Garendra Aksara Wijaya, 1996 Jangan panggil gua Aksa kalau lo bukan Tata atau Bunda gua. Panggil Garen. Aruna Claretta Hadinata, 1998 Gua pilih...