9. Hati

205 45 23
                                    

Hari Garen berjalan seperti biasanya, pergi ke studio untuk latihan, ke cafe untuk manggung, ke kampus untuk mengejar dosen pembimbing agar menerima proposal skripsinya yang dari jaman entah kapan. Namun Garen masih tetap berusaha santai dan bisa melakukan kegiatan yang dia sukai seperti bermusik, akhir-akhir ini dia cukup sering menulis lirik lagu dan pergi ke studio tengah malam hanya karena mendapat inspirasi mengenai lagu-lagunya. Karena tidak mungkin dia memainkan keyboard, bass, ataupun drumnya di kamar pada dini hari. Dia bisa digrebek Aruna atau Bundanya.

Sudah dua jam Garen diam di pojokan studio dengan note di pahanya, menulis lirik yang sejak tadi malam menghantuinya. Dan akhirnya setelah pantatnya terasa panas karena duduk sedari tadi, dia berdiri dan mengalungkan bass-nya.

"Woy, gua udah nemu chord buat bass-nya, dengerin," Ucapnya kepada teman bandnya yang juga sedang sibuk dengan alat musiknya masing-masing. Atensi mereka masing-masing tertuju pada Garen.

Nada dentuman rendah dari petikan bass Garen itu terdengar sangat kasar dan terasa tanpa perasaan. Junet di sebelah kanannya menggeleng pelan, "Masih raw banget, Ren, lo udah bikin chord buat keyboard nggak?"

"Gua udah kasih ke Nata, tapi setelah gua coba gabungin sama bass nggak match, makin kacau. Ini udah semaksimal mungkin gua usaha dari tadi cari nada lewat bass dulu, nanti biar Nata bisa cocokin."

"Nggak bisa gitu lah, Ren, dimana-mana ya lo harus tentuin kunci dasarnya. Ini kalau langsung melodi gimana ceritanya," Garen terdiam, dia menghela nafasnya.

"Coba kalian semua bikin chord dasarnya, ntar kita tentuin bareng-bareng," Ucap Garen sambil menaruh kembali bass-nya.

Suara gitar yang beradu dengan lantai itu terdengar sangat keras, semua orang yang berada di dalam studio menoleh kepada Junet yang terlihat sangat kesal. Garen menautkan kedua alisnya heran, "Lo yang mau bikin lagu kenapa malah kita yang ikut bikin dasarnya? Bukannya lo yang ngotot dari awal tanggung jawab lo semua masalah lagu?"

"Apasih, Jun, nggak biasanya lo gini," Agap menanggapi di belakang drumnya.

"Yaudah kalau lo nggak mau nggak papa, masih ada Nata, Alpa, sama Agap," Garen sudah hendak berlalu dari tempatnya berdiri sebelum Junet membentaknya.

"Lo pikir ini band lo!? Tanggung jawab lo semua? Lo yang paling bakat??" Ada sedikit tawa meremehkan di belakang pertanyaan Junet baru saja. Semuanya diam dan saling menatap dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya ini.

"Istirahat dulu dua puluh menit, gua orderin makanan," Ucap Nata yang berusaha menengahi.

Satu tendangan berhasil lolos pada standing mic yang kini sudah tergeletak di bawah, suara terjatuhnya mengagetkan semua orang termasuk Garen yang sekarang berjengit terkejut. Dia masih kehilangan kata-katanya, yang dia tahu hanyalah Junet sedang ada masalah dengan orang tuanya. Hanya itu.

"Gua pulang."

Junet menyambar tasnya yang tergeletak di bawah, berjalan melewati Garen hendak keluar dari studio.

"Assalamualaikum," suara lembut itu menghentikan langkah Junet, dia menatap lurus ke depan dan menemukan Aruna sedang tersenyum, "Loh Bang Jun udah mau cabut aja? Gua beliin bakso langganan nih," Ucapnya sambil mengangkat dua bungkus plastik di kedua tangannya.

Aruna melewati Junet dan menaruh bawaannya di lantai yang jauh dari kabel-kabel instrumen, "Kok pada diem sih, nggak mau bakso apa? Sa, jangan ngelamun!" Aruna menyentak Garen dan laki-laki itu segera sadar dari keheningannya.

Agap akhirnya berdiri dari tempat duduk drumnya dan menghampiri Aruna, begitu juga dengan Alpa dan Nata yang mulai meninggalkan instrumentnya masing-masing. Junet membalikkan badannya dan menatap semua orang saat ini juga memperhatikannya, "Gua cabut dulu, dicariin bokap dari tadi. Lo semua bareng aja ke cafe, gua nyusul aja nanti. Sorry ya, Na, baksonya jadi kelebihan lo belinya."

Kita [ WENYEOL ]Where stories live. Discover now