09. We're the One

3.3K 218 0
                                    

Sementara Hazel hanya tercengang melihat laki-laki itu menunjukkan wujud aslinya. Terlebih lagi dengan kedua temannya itu.

"Hazel berhati-hatilah, kalau tidak tubuhku juga terluka kalau kau menyerangnya." Eiden memperingati Hazel karena khawatir.

"Itu tidak mungkin. Karena aku sudah memisahkan kau darinya. Itu artinya dia bukan tiruanmu lagi."

"Bagaimana itu mungkin? Kau menggunakan kekuatan apa hingga aku tidak bisa tersakiti lagi?" Eiden teringat ketika terakhir kali dia tidak terlihat dengan kondisi yang sama dengan tiruannya itu pada waktu Hazel membuat tiruannya menjadi tak berdaya.

"Sudahlah. Itu tidak penting. Yang terpenting saat ini adalah kita harus memikirkan jalan keluarnya." Hazel memalingkan wajahnya kearah Angel yang masih lemas diujung sana. Tetapi dia yakin bahwa Angel setidaknya masih bisa mendengar walaupun Angel tidak bisa menggerakkan kepalanya untuk melihat kearah mereka.

"Angel. Apa kau bisa mengeluarkan kita dari sini?" Tanya Hazel dengan lantang.

"Maa...maaf. Aaa....aku tt....ak punya te..naagaa la...ggi." Dengan susah payah Angel menjawabnya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Hazel?" Tanya Eiden sambil melepaskan jaketnya yang terkena noda darah itu.

"Kemarilah. Cepat!" Desak Hazel yang memaksa Eiden untuk melangkahkan kakinya yang masih sakit itu kearah Hazel.

"Ada apa? Apa yang bisa aku bantu?"

"Aku tidak tahu apakah ini berguna atau tidak tetapi ulurkan jari telunjukmu kearahku. Cepat!!"

"Ba...baiklah." Dengan cepat, Eiden mengarahkan jari telunjuknya itu ke arah Hazel. Hazelpun menyentuh jari telunjuknya dengan jari telunjuk miliknya dan ada sinar menyala diantara kedua jari telunjuk tersebut. Eiden mengerang kesakitan dan hampir melepaskannya, tetapi Hazel melarangnya. Dia ingin Eiden tetap seperti itu sampai transformasinya selesai. Cahaya itu perlahan-lahan sirna dengan sendirinya. Eiden kembali membuka matanya yang terkena paparan cahaya barusan. Dia menemukan tubuhnya terasa jauh lebih baik.

"Apa ini? Sepertinya tubuhku terasa ringan."

"Energiku sudah aku transfer ke tubuhmu melalui sentuhan jariku. Aku tidak punya banyak waktu. Tugasmu sekarang, kau harus bisa membawa kita ke tempat semula. Kalau aku memberikan energi kepada Angel, itu tidak akan cukup. Jadi, tolong bawa kami dengan menggunakan kekuatanmu. Ini adalah sisa energi terakhir yang kumiliki." Desah Hazel dengan wajah pucatnya, ia kembali tertunduk lemas sambil menahan tubuhnya agar tidak mudah terjatuh. Eiden yang melihat pengorbanan temannya itu, ia segera memapah temannya ke tempat Angel. Sedangkan, laki-laki yang sudah menjadi monster itu, dia semakin dekat kearah mereka.

Dibalik cermin, ada sejuta kesedihan dan air mata di hati dua pasang mata. Mereka sangat iba melihat pengorbanan yang dilakukan oleh Hazel itu kepada temannya.

"Tuan putri. Apa yang harus kita lakukan? Apa kita harus berdiam diri seperti ini, melihat mereka terpojok? Bagaimana kalau sampai Eiden membuat kesalahan lagi dan malah melempar mereka ke dimensi lainnya? Mereka akan mati tuan putri. Putri Aeolus yang mendengar pelayannya bicara itu hanya mengeluarkan seulas senyuman dibibirnya.

"Jangan khawatir, Lynn. Kali ini, dia tidak akan salah. Hazel saja mempercayainya, kenapa kita tidak bisa mempercayainya saja?" Lirik Putri Aeolus dengan senyuman manis dibibirnya itu.

Sedangkan keadaan di dimensi itu sendiri sangat menegangkan dan Eiden juga lagi-lagi dia harus membuat keputusan yang terjepit ini. "Kenapa aku harus melakukan sesuatu yang terjepit seperti ini? Bagaimana kalau aku salah dan malah menjerumuskan kita kedalam lubang yang sama?" Batin Eiden dengan penyesalannya itu.

"Eiden, cepatlah. Kita tidak punya banyak waktu." Desak Hazel yang semakin membuat Eiden panik.

"Bagaimana bisa kau mempercayaiku dengan mudah, Hazel? Sementara aku takut kalau kita ___"

"Sudahlah. Pikirkan tempat dimana kita tuju. Aku sudah tidak punya tenaga lagi. Begitu juga dengan Angel." Hazel memotong kata-kata Eiden sambil melirik kearah Angel dengan cemas begitu juga dengan Eiden yang mencemaskan dengan keadaan Angel.

"Baiklah. Aku akan membawa kalian berdua tetapi jangan salahkan aku kalau nantinya kita akan terjebak kedalam dimensi lainnya." Eiden memejamkan matanya. Ia mulai memikirkan tentang dimana tempat yang mereka tuju dan tempat yang mereka saat ini berada. Monster itu berjalan sambil mengarahkan tangannya kearah mereka dan _____. Mereka menghilang. Tentu saja membuat monster itu terlihat seperti dipermainkan oleh mereka.

Sementara Eiden mencoba untuk membuka kedua matanya itu sambil melihat setiap sudut tempat dimana mereka berada saat ini. Suara gadis kecil menghilangkan keraguan akan pikiran Eiden mengenai tempat dimana mereka berada saat ini.

"Kak Hazel. Kak Angel. Eiden. Kalian kenapa? Apa kalian baik-baik saja?" Tanya Eline dengan sikap paniknya itu.

"Mana Mark? Cepat bantu mereka berdua. Suruh Mark membantu."

"Aku disini." Mark melihat kearah mereka sambil memapah kedua temannya itu. Sedangkan Eiden, dia terlihat kelelahan dan berjalan tertatih-tatih mengikuti arah jalan Eline. Yah, meskipun Hazel sudah mentransfer energinya itu kepada Eiden, namun tetap saja memindahkan ketempat lain itu membutuhkan energi yang sangat besar. Itu yang membuat Eiden cepat lelah dan justru tubuhnya hampir ambruk. Kalau saja, Mark yang tidak menahan tubuhnya ketika Eiden hendak memeriksa keadaan kedua temannya itu didalam, mungkin Eiden sudah terbaring dilantai begitu saja.

"Cepat buat ramuan untuk kami, Eline." Titah Eiden dengan menyandarkan tubuhnya yang lemas itu ke sofa. Eline yang tidak tega melihat keadaan dari ketiga temannya itu, dengan sigap ia mempercepat setiap gerakan-gerakannya itu untuk membuat ramuan yang tepat. Sedangkan, Mark mencoba untuk membantu Eline sebisanya. Setidaknya, hanya butuh waktu sekitar kurang lebih dari 10 menit, ramuan-ramuan yang ia buat sudah dipastikan bisa langsung mereka teguk sampai habis. Mark membantu mencoba menegakkan tubuh mereka sambil meminumkan ramuan-ramuan itu kepada mereka satu-persatu. Setelah itu, Eline dan juga Mark membiarkan mereka bertiga untuk beristirahat tanpa membuka suara sedikitpun.

Ditempat lainnya, banyak orang yang masih terlihat semakin kacau karena gumpalan asap yang menerpa bangunan Sekolah tersebut serta beberapa orang diantara mereka yang mati secara menggenaskan. Melihat hal itu, Naziel tak punya pilihan lain selain memandu mereka keluar. Ada yang mau keluar, tetapi ada juga yang masih enggan. Mungkin mereka masih takut kalau gumpalan asap tersebut menerpa mereka. Melihat reaksi yang diberikan oleh beberapa orang yang tidak setuju itu kepadanya, Naziel terus-menerus menyuruh mereka tiada henti.

"Apa kalian mau mati disini? Kalau kalian keluar, itu lebih baik."

"Tetapi bagaimana jika asap itu malah menelan kami hidup-hidup." Kata seorang dari mereka yang menentang keputusan Naziel itu.

"Percayalah kepadaku. Aku bisa menjadi jaminannya." Ujar Naziel penuh dengan keyakinannya itu. Lalu, mereka menuruti apa yang dikatakan oleh Naziel sambil memperhatikan setiap jalan yang mereka tempuh. Sejak saat itulah, Naziel baru pertama kali seumur hidupnya bisa berguna bagi orang lain. Dan sejak saat itulah desiran senyuman yang selama ini dia jarang menunjukkannya, tiba-tiba datang begitu saja dibalik bibirnya yang mempesona itu.

Seven Angels Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang