Kai tidak pernah bisa berpaling dari video singkat yang mempertemukan para fans dengan Jingga. Kai tidak pernah merasa terganggu hingga seperti ini sebelumnya bahkan dengan fans Jingga yang telah benar-benar menyatakan cintanya pada saat jumpa fans beberapa waktu lalu tapi, dengan lelaki ini yang dia lihat videonya berulang-ulang, Kai merasa seakan eksistensinya terancam. Perasaan macam apa ini? Bantah Kai dalam hati.
Dengan gusar, Kai membenarkan posisi duduknya, kini kursi empuk super mahal di ruang kantornya tidak mampu membuatnya nyaman dan akhirnya Kai meraih ponsel pintarnya yang tergeletak di meja kerja kayu berwarna cokelat mahogani, bergaya modern minimalis dan terlihat menyatu dengan keseluruhan interior ruang kerja Kai yang luas serta bernuansa gelap khas lelaki. Kai memutuskan untuk menelepon Rere, kini wanita itulah satu-satunya tempat Kai mencurahkan segala kecemasan dan curahan hatinya mengenai Jingga. Meski Kai sering terlibat pertengkaran dengan Rere tapi Kai mengakui tingkat loyalitas Rere sebagai teman dan sahabat di atas rata-rata dengan kata lain Rere sangat bisa dipercaya untuk menyimpan segala rahasia.
"Rereya..."
"Hmm?"
"Makan siang denganku besok, apa kau bisa?"
"Gabjagi...? kok mendadak?"
"Hm... banyak yang mengganggu pikiranku."
"Kau pikir aku ini tempat sampahmu? Besok jam satu siang, jangan terlambat."
"Oke..." lalu Kai mematikan ponselnya, dan senyum tipis terbit di bibirnya. Rere memang selalu bisa diandalkan, pikirnya.
***
Di dalam kamar luas yang di dominasi oleh warna ivory serta jendela kaca besar yang memanjang dengan pemandangan kelap-kelip lampu kota Seoul yang megah dan tentunya sungai Han yang terkenal itu, Jingga memilih bergelung di dalam selimut, menyalakan sedikit pemanas ruangan agar sedikit lebih hangat mengingat udara luar sudah mulai dingin karena telah berada di penghujung musim gugur.
Jingga sibuk dengan pikirannya sendiri terkait kehadiran lelaki yang sangat mirip dengan Pierre. Ada rasa marah yang luar biasa ketika melihat lelaki itu, senang, benci dan sedih yang saling tumpang tindih dalam benaknya. Marahnya untuk kehadiran lelaki itu, mengapa harus lelaki itu dan bukanlah Pierre-nya, senang untuk kembali melihat wajah itu, wajah yang lama dirindukannya setengah mati lalu benci dan sedihnya adalah karena menyayangkan sebuah keadaan karena Pierre-nya tidak memiliki kesempatan yang sama dengan lelaki itu, lelaki bernama Dinan itu.
Jingga juga mengutuk kebodohannya karena telah memberikan nomor telepon pribadinya kepada lelaki itu tanpa adanya rasa keberatan sama sekali ketika lelaki bernama Dinan itu meminta nomor teleponnya dengan alasan receh yang terasa penting bagi Jingga. Hal bodoh lainnya adalah ketika Jingga merasa ikut bertanggung jawab jika lelaki itu dengan temannya akan mengalami kejadian buruk selama ada di Korea karena mereka tidak memiliki pemandu dan hanya mengandalkan google map saja, sangat konyol. Bagaimana mungkin mereka berlibur tanpa persiapan seperti itu... lalu, apa yang harus aku lakukan ketika bertemu wajah itu lagi?? Haruskah aku bertemu lagi dengannya ataukah aku harus menjaga jarak dengannya? Dia bukan Pierre... bukan.
Tiba-tiba saja Jingga mendengar suara kunci pintu otomatisnya terbuka, segera saja ia berlari menuju ruang tamu untuk memastikan siapa yang datang ditengah malam begini meski Jingga sudah dapat menebak kalau tamu itu tidak lain adalah Rere. Hanya Rere yang tahu sandi pintu masuk apartemennya.
"Rereya..."
"Kenapa jadi seperti Kai?" tanya Rere dengan terkekeh membayangkan wajah Kai, Jingga ikut juga tertawa membayangkan wajah Kai yang putus asa saat kalah bertengkar dari Rere.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Fiksi UmumHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...