Ivan mengamati segala perubahan yang terjadi dalam diri Dinan pasca kesadarannya dari koma. Menurut Ivan, Dinan banyak berubah menjadi lebih kaku dan menjadi lebih pendiam dari yang seharusnya dan yang paling jelas adalah ia sering kali mendapati dialek Dinan terkadang menjadi sangat kental dengan logat Jawa yang memancing Ivan menjadi terpingkal kecil namun segera menuai tatapan galak dari Dinan.
"Dia sungguh aneh... seringkali ia terlihat seperti orang lain. Apakah semua orang yang sembuh dari koma seperti itu?" gumam Ivan ketika ia sedang berganti seragam dengan pakaian biasa setelah selesai piket.
"Apa?" sambut Dinan.
"Hah? Oh, nggak apa-apa, gue cuma bicara sendiri."
"Oh."
Dinan langsung ngeloyor pergi meninggalkan Ivan yang masih berganti pakaian, sukses membuat Ivan menggelengkan kepala berkali-kali lalu ia segera menyusul Dinan.
Ivan mendapati Dinan sedang melamun di luar gedung markas Zeni, entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga Dinan seperti seorang pemikir sekarang... ucap Ivan dalam hati. Ivan menghampiri Dinan dan menepuk bahunya ringan.
"What is wrong with you?" pertanyaan Ivan mengejutkan Dinan.
"Nothing..., yuk pulang."
"Hah? Memang gue pacar lo sampai harus pulang bareng?" seringai Ivan centil membuat Dinan mau tak mau ikut meringis geli melihat kelakuan sahabatnya ini.
***
Sesampainya Dinan di rumah, ia langsung menemui Ibunya yang masih duduk di ruang keluarga sedang asyik menonton acara televisi.
"Assalamualaikum, Bunda. Aku sudah pulang..." ujar Dinan sambil menghampiri sang Ibu dan mencium punggung tangannya.
"Walah, anak Bunda sudah pulang. Kamu sudah makan belum? Bagaimana hari pertamamu kembali bekerja?" suaranya sarat akan kekhawatiran.
"Sudah, Bun. Tadi aku makan bareng sama Ivan saat jalan pulang. Aku baik-baik saja, Bun. Oh, ya... Bunda sudah makan?"
"Sudah, Nak. Bunda sudah makan. Kamu istirahat ya."
"Aku pergi ke kamar dan bersih-bersih dulu ya, Bunda."
"Nanti kamu langsung saja istirahat ya, nggak usah temani Bunda. Habis ini Bunda juga sudah mau tidur."
"Siap, Bunda..." balas Dinan sambil memamerkan senyum manisnya lalu meninggalkan sang Bunda yang kembali asyik dengan acara televisinya.
Seusai mandi, Dinan merebahkan diri di tempat tidur. Ia masih bingung memaknai tentang segala yang terjadi pada dirinya dan situasi yang dihadapinya saat ini. Matanya menatap lurus langit-langit kamar dan mulai ia mengingat – ingat apa yang dirinya alami ketika koma.
Dia mengingat mimpinya itu di mana wanita dalam mimpinya itu memanggilnya dengan nama "Pierre". Dengan cepat ia meraih ponselnya dan mulai mencari nama itu di kolom pencarian lalu dirinya menemukan sosok itu, sosok lelaki gagah yang bernama Pierre, keterkejutannya datang bertubi-tubi saat Dinan membaca biografi singkat Pierre dari laman internet, semuanya seperti membawanya membaca biodata miliknya sendiri, bahkan foto itu seolah Dinan melihat fotonya sendiri. Apakah aku kembar dengannya? Atau mungkin Dad dan Bunda mempunyai hubungan kerabat dengan lelaki yang dinobatkan sebagai pahlawan ini? Batin Dinan. Kalau kembar jelas tidak mungkin. Tetapi mengapa wajahku seperti kembar identik dengannya? Bahkan tanggal lahir, tinggi badan sampai pada hobi-pun sama... Sambung Dinan kembali.
Tiba-tiba saja kenangan yang putus-putus tentang masa kecilnya ketika ia masih berada di sekolah dasar, saat mempelajari sejarahpun menyeruak ke udara. Kini kenangan kecil itu terlintas jelas dalam benaknya. Saat ia membaca sejarah mengenai pahlawan revolusi, selalu ada rasa sendu dalam hatinya, terlebih ketika melihat sosok Pierre di dalam buku sejarah miliknya, dadanya mendadak terasa berat dan tiba-tiba saja ia mulai menangis hebat membuat sang guru kebingungan. Apakah ada hubungannya dengan kejadian baru-baru ini? Apakah itu mungkin? Dinan tetap bertanya-tanya dalam hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/237426702-288-k291939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Genel KurguHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...