Paginya Jingga mendapati dirinya tidur cukup pulas disebuah asrama rumah sakit yang entah apa namanya, karena semalam rasanya sudah menguras seluruh energinya sehingga dia sudah tidak fokus lagi kemana dia dibawa dan menghafal nama tempat bermalamnya. Lelaki blasteran bule itu mengantarnya kerumah sakit ini, dia sempat melihat lelaki yang bodohnya tidak dia tanyakan siapa namanya itu berbicara pada seorang dokter yang sudah cukup tua sebelum meninggalkannya.
"Karena kamu ndak bisa kasih tahu di mana rumahmu maka kamu aku titipi di sini dulu. Kamu bisa minta dokter untuk mengobati luka-lukamu itu." Ucap lelaki itu ketika menyerahkanku, saat itu aku hanya mengangguk pasrah. Entah aku merasa berlebihan atau tidak tapi sesaat aku merasa kalau lelaki itu ragu untuk meninggalkanku.
"Terimakasih..." ucap Jingga sambil membungkuk saat melepas kepergian lelaki yang telah menolongnya itu dan lelaki itu hanya mengangguk lalu kemudian menghilang dari pandangan Jingga.
***
Jingga melangkahkan kakinya kearah jendela, lalu membukanya membiarkan udara sejuk menerobos masuk beserta sinar matahari pagi yang lembut. Sejenak Jingga menikmati momen manis itu sebelum dia menolehkan pandangan kearah kalender yang tergantung rapih disisi kiri dekat dengan pintu kamarnya.
Alisnya bertaut bingung, siapa gerangan yang membiarkan kalender setua itu masih menggantung manis di sana. Tertulis Juli, 1963. Ketika Jingga akan menghampiri kalender tua tersebut, dari arah pintu masuk seorang perawat yang tersenyum manis padanya.
"Nona sudah bangun rupanya."
"Hmmm... i.. iya, suster." Jawab Jingga sedikit terbata karena dalam penglihatannya seragam suster tersebut sudah Old Fashion. Ah, ya. Aku akan menanyainya kenapa masih menyimpan kalender itu pikirnya.
"Sus, mengapa kalender itu masih di letakan di sana?" sambil menunjuk objek yang dimaksud. Yang ditanyai hanya terlihat heran.
"Mari Nona, saya periksa dulu luka-lukamu yang semalam." Ajak sang suster pada Jingga. Jingga menurut.
"Itu memang di sana tempatnya Nona, itu kalender terbaru. Bukankah tahun 1963 baru saja tujuh bulan ini kita jalani?" ujar sang suster lembut dan sabar.
Dengan cepat Jingga menarik lengannya yang baru saja diberi obat sejenis obat merah untuk mengobati lecet-lecet akibat terjatuh semalam.
"Apaa????" tanyanya gugup tak percaya. "1963? Sekarang? Pasti anda bercanda kan?" masih dengan nada terkejut tak percaya. Tidaakkk, tidaaakk... bagaimana ini bisa terjadi padaku? Bagaimana? Jerit hati Jingga sungguh panik.
"Nona, apakah anda sakit? Ada yang ada rasakan tidak beres?"
Jingga memerhatikan dengan seksama, dia takut kalau-kalau dirinya telah memasuki dunia gaib. Mendadak bulu kuduknya berdiri, Jingga hanya mampu melihat kaki sang perawat menapak pada lantai atau tidak, ataukah senyumnya akan berubah mengerikan atau tidak dan yang paling terakhir, apakah dia akan mengeluarkan taring secara tiba-tiba? Jingga bergidik ngeri berusaha menepis khayalan yang mengerikan barusan.
"Nona... Nona... apakah kamu baik-baik saja?" kini suster nampak khawatir dengan wanita di hadapannya ini. Apakah wanita ini terganggu jiwanya ataukah karena adanya kekerasan di kepalanya sehingga ingatannya terganggu?
"Ya?" dengan lemah Jingga menanggapi panggilan suster itu.
"Nona baik-baik saja?" ulang sang suster.
![](https://img.wattpad.com/cover/237426702-288-k291939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Ficción GeneralHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...