Disuatu waktu kamu datang begitu saja, menciptakan ruang dan waktumu sendiri dan membawaku ke dalamnya. Aku tersesat dalam rasa yang memiliki asa untuk selalu bersamamu seakan aku lupa bahwa disuatu waktu kamu akan pergi meninggalkanku...
"Loh, kok kamu subuh-subuh begini mampir? Kamu kenapa? Kamu sakit? Kamu baik-baik saja kan, Pierre?" Tanya Jingga cemas melihat sosok itu yang mengenakan seragam lengkap tengah berada di depan pintu kamarnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Hmm... aku ndak apa-apa, aku sehat. Aku mau berangkat pagi ini. Maaf kalau harus subuh seperti ini mengunjungimu."
"Nggak apa-apa, aku hanya khawatir saja karena ini bukan kebiasaan kamu." Jingga menatap Pierre dengan lembut.
"Hmmm... aku... aku..."
"Kamu kenapa?" Jingga bingung melihat kegusaran Pierre.
"Begini, Jingga... kemarin itu aku wis bohong sama kamu."
"Hah? Soal apa? Yang mana?!" Jingga terkejut bukan main.
"Itu... soal koncoku iku lho..." jawab Pierre samar.
"Oooalah... yang itu? Kenapa kamu bohong?" tanya Jingga pelan.
"Hm... itu... wong iku sebenaranya bukan koncoku tapi iku aku sendiri." Jawab Pierre dengan susah payah.
Jingga hanya tersenyum melihat kegugupan Pierre. Sebenarnya Jingga sudah menebak dan tebakannya tepat sekali. Jingga memahami betul situasi ini dan Jingga sangat senang melihat keberanian Pierre menyatakan isi hatinya walaupun minus dengan kalimat romantis.
"Lalu?" ujar Jingga kemudian. Dengan sigap Pierre menengadahkan kepala dan memandang Jingga dengan sungguh-sungguh. "Lalu apa sekarang, Pierre?" kejar Jingga lagi karena jawaban itu tak kunjung keluar dari bibir Pierre.
"Yang ku ceritakan semalam itu adalah keadaan hatiku, Jingga." Ulangnya.
"Hmm... lalu?" Jingga-pun mengulang pertanyaannya pada Pierre.
"Jadi, aku di tolak?" tanya Pierre hati-hati namun mengundang senyum yang lebih lebar dari Jingga.
"Kok ngguyu?" tanya Pierre lagi dengan nada yang sarat dengan kekecewaan.
Jingga kemudian memasang wajah seriusnya yang belum pernah Pierre lihat sebelumnya, beberapa menit Jingga terlihat berpikir dengan ekspresi itu. Ekspresi serius yang janggal dalam kacamata Pierre.
"Sungguh, sebenarnya aku membutuhkan waktu lebih dari sekedar beberapa menit untuk ini semua, Pierre. Tetapi, aku nggak ingin membiarkanmu menunggu karena soal rasa bisa saja mengacaukan segalanya."
"Lalu?" tanya Pierre cemas, bahkan sangat cemas.
"Kalau hanya persamaan rasa antara hatimu dan milikku, aku rasa kamu sudah bisa sedikit menilainya, kan?" Ujar Jingga dengan serius membuat Pierre berpikir sejenak lalu mengangguk. "Apa yang kamu nilai?" ujar Jingga lagi.
"Kamu juga memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan?" tanya Pierre sedikit ragu.
"Tepat." Jawab Jingga singkat tapi mengundang seluruh binar kebahagiaan di dalam mata cokelat Pierre dan dengan perlahan senyum itu hadir di wajah ganteng permanen milik Pierre lalu dengan refleks Pierre meraih tangan Jingga dan menggenggamnya erat.
"Jadi, aku ndak ditolak, ya?" hanya sekedar memastikan.
"Nggak..." Jingga menjawabnya dengan senyum manis pada pria yang berhasil membuka serta mencuri hatinya. Rona merah nyata terlihat di pipi keduanya cukup untuk melukiskan bagaimana hati mereka.
"Aku yo, bahagia sekali... aku wis tenang saiki balik ke medan tempur." Ujar Pierre bahagia.
"Tapi..." kalimat menggantung dari Jingga kembali mengundang keraguan dalam benak Pierre.
"Tapi apa, toh?"
"Kita harus saling menyiapkan hati untuk hal yang terburuk, Pierre."
Alis Pierre segera berkerut seakan bertanya mengapa kalimat itu terlontar dari bibir Jingga.
"Pierre, kita tahu kalau aku tidak berasal dari sini. Aku nggak ingin memberikan kamu harapan dan kebahagiaan palsu juga semu. Karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk yang mungkin saja terjadi diantara kita... kamu mengerti maksudku?"
"Aku ndak ngerti apa maksudmu." Wajah Pierre menegang kini.
Jemari lembut milik Jingga menangkup pipi tirus itu dengan hati-hati, seakan takut jika terlalu kuat menyentuhnya akan merusak wajah itu.
"Pierre, suatu saat yang entah kapan... mungkin aku akan menyakitimu dengan kepergianku, dengan kembalinya aku ke masaku. Ke waktuku..." dengan lirih Jingga menatap manik mata itu. Aaah..., ternyata dia juga memiliki ketakutan yang sama denganku... Jingga menilai dalam hatinya. "Sebenarnya, kemungkinan besar tidak hanya kamu yang tersakiti... akupun akan merasakan hal yang serupa. Aku akan sakit karena diriku sendiri, karena keputusanku hari ini."
Pierre merasakan ketakutan yang sama, kekhawatiran yang sama. Keluarga, lingkungan kerja dan lain-lain akan menjadi penghalang yang besar bagi dirinya dan Jingga, lalu jurang pemisah yang paling kejam diantara mereka adalah waktu.
"Aku ikut denganmu. Apapun itu aku ikut bersamamu. Segala perbedaan yang kumiliki akan ku selaraskan denganmu... Apapun itu akan aku genapi untukmu, Jingga..." ucapnya mantap.
Jingga terkisap dengan jawaban Pierre yang mantap. Terlihat dari wajah itu sorot mata yang sendu, sorot mata yang memohon agar tidak adanya perpisahan diantara mereka serta sorot mata yang berusaha meyakinkan lawan bicaranya kalau segalanya dapat mereka atasi. Hatinya rapuh melihat pemandangan ini.
"Setidaknya, di suatu waktu itu izinkan aku untuk menyebutmu sebagai milikku, Jingga..." ujar Pierre lembut pada Jingga. "Aku pamit, yo... ojo khawatir, aku akan ngirimi kamu surat kalau situasinya aman." Sambil membelai lembut rambut Jingga dan Jingga menjawab dengan anggukan kepala.
Jingga melepas kepergian Pierre dengan rasa yang campur aduk. Bahagia karena lelaki itu kini telah menjadi kekasihnya, sedih karena harus ditinggal pergi ke medan pertempuran dan yang terakhir sedih karena suatu saat dirinya sendirilah yang akan mengundang air mata dan luka hati bagi lelaki itu.
***
Tok... tok...tok...
"Nona Jingga... Nona... apakah kamu ada di dalam?" suara seorang suster yang telah begitu akrab ditelinga Jingga.
Jingga berlari kecil menuju pintu lalu membukanya, Jingga takut kalau ada pasien yang gawat sehingga suster membutuhkan bantuan tambahan darinya.
"Iya, Sus... ada apa?" tanya Jingga panik namun Jingga menjadi bingung karena melihat wajah suster itu begitu semringah di depan pintu kamarnya.
"Nona, ini ada surat untuk Nona..." suster memberikan sepucuk surat itu kepada Jingga masih dengan senyum.
"Terimakasih, sus..." Jingga menerima surat itu dengan senyum pula. Setelah masuk kembali ke dalam kamar segera dia melihat siapa pengirimnya, dibolak-baliknya amplop itu namun hanya tertera nama serta alamatnya saja dengan tulisan sambung. Tidak ada nama dan alamat pengirim. Jingga membuka amplop itu dengan perlahan, kalau ini zaman modern aku pasti sudah mengira kalau surat kaleng ini sebagai senjata biologis... batinnya.
Jingga membuka selembar surat dari pengirim yang tak dikenal sebelumnya namun akhirnya Jingga mengetahui kalau sepucuk surat itu dari Pierre. Surat pertama dari Pierre. Surat cinta mereka yang pertama. Jingga membacanya dengan perlahan seolah takut cepat selesai. Ahh... aku sangat senang dengan surat ini. Setelah empat bulan berlalu, akhirnya datang juga kabar darimu. Kamu selalu memegang ucapanmu ya? Ucap Jingga dalam hatinya seolah kalimat itu ia tanyakan langsung pada lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Ficțiune generalăHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...