Rere kembali pada titik awal pada saat ia menemukan Jingga di Museum kala itu, rasa itu kembali ia rasakan. Kenyataan yang terpampang di hadapannya hampir saja membuatnya frustasi, bagaimana tidak? Jingga tidak mau keluar dari kamarnya, ini sudah hari ke empat sejak dia kembali malam itu bersama Kai dalam kondisi memprihatinkan, mata sembab, wajah kusut serta mental yang jatuh sementara Kai, dia sama saja amburadulnya dengan Jingga. Apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Batin Rere saat itu yang sampai sekarang belum terjawab. Semua masih teka teki baginya.
"Nggaa.... Jingga... buka dong pintunya. Lo nggak bisa ngurung diri terus di kamar kayak gini. Makan juga nggak, minum gue nggak tahu deh. Kan lo bisa cerita sama gue. Please, Nggaa..."
Rere berdiri diambang pintu kamar Jingga yang masih terkunci dari dalam, tidak ada jawaban. Hening.
"Jingga Azzahra!! Kalo lo nggak mau buka juga ini pintu, gue bakalan telepon polisi karena percobaan bunuh diri!!!" Rere tidak sanggup lagi bersabar menghadapi Jingga, ini situasi yang sudah membahayakan nyawanya.
Tidak lama setelah Rere berteriak dari luar, terdengar suara kenop pintu yang dibuka, secara perlahan pintu kamar Jingga terbuka sedikit demi sedikit sampai benar-benar terbuka lebar.
"Astagfirullaaahhhh Jingga!" Rere panik melihat Jingga yang sudah pucat pasi, bibir kering sampai rambut kusutnya. Seperti mumi. "Lo harus ikut gue sekarang juga ke rumah sakit. Ngerti?!" Jingga hanya menganggukan kepala lemah dengan tatapan mata yang kosong.
Rere meminta asisten rumah tangga yang datang seminggu tiga kali itu agar membersihkan kamar Jingga yang sudah tak karuan, sementara Rere membawa Jingga dengan mobilnya ke rumah sakit terdekat, sesampainya di rumah sakit tidak butuh waktu lama bagi dokter untuk mengambil keputusan agar Jingga di rawat karena kondisinya sudah kritis. Diangnosa mulai dari dehidrasi berat sampai gangguan pencernaan akut diidapnya, belum lagi dokter mengusulkan setelah tubuhnya membaik Jingga harus mengikuti konsultasi kejiwaan dengan psikolog karena diindikasi Jingga mengalami depresi.
***
"Bagaimana mungkin orang yang telah mati, bisa ada lagi di sini? Well, budaya kami memang percaya adanya reinkarnasi, tapi kenapa harus dia???? Dan bukankah hal itu lebih banyak terjadi di drama?" gumam Kai pada diri sendiri, ia menjadi tidak tertarik pada pekerjaannya yang sudah mulai menumpuk di meja kerjanya.
Masih terbayang dengan jelas hari itu saat Jingga meminta untuk membawanya menjauhi lelaki yang awalnya ia kira hanyalah seorang stalker namun ternyata lebih dari pada itu.
"Siapa dia, Jinggaya? Apakah dia menyakitimu?" sesekali Kai menoleh pada Jingga yang hanya mematung meilhat keluar jendela, namun Kai sadar betul kalau gadis ini tidak berhenti menangis sedari tadi. "Jinggaya... jebal... aku mohon..."
Jingga memejamkan matanya sebelum menjawab Kai, seolah ia ingin mengumpulkan keberanian juga kesadarannya.
"Kai, apa kau tentu ingat cerita tentang hilangnya aku dan kisah yang menyertainya, kan?" Kai hanya menganggukan kepalanya walau terlihat tenang namun sesungguhnya batin Kai bergemuruh hebat. "Kau ingat tentang pria itu, kan?"
"Hmm... aku ingat."
"Lalu... apakah kau percaya tentang seseorang yang terlahir kembali? Apakah itu masuk akal?! Apakah aku segila itu karena berharap apa yang dikatakannya adalah benar???!" Jingga kembali terisak sedangkan Kai terdiam sejenak.
"Kalau kau tidak mau mempercayainya, tidak apa-apa Jingga. Karena aku selalu ada untukmu... kau tahu itu." Ucap Kai pelan.
Kai tidak siap dengan kehadiran lelaki itu, lelaki yang dari awal ia curigai tapi nyatanya lelaki itu menjadi rivalnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/237426702-288-k291939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
General FictionHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...