Enam hari penuh Jingga menghabiskan waktu di rumah sakit untuk memulihkan fisiknya akibat mengalami kelelahan dan dehidrasi berat kini, ia sudah bisa kembali ke rumah, ada perasaan lega namun sesak itu tetap saja menghimpit jiwanya.
"Aku menginap di sini mulai sekarang." dengan santainya Kai mengumumkan kepindahannya ke rumah Jingga yang juga ditinggali oleh Rere. Mendengar ocehan Kai yang sembarang menyulut emosi Rere sehingga dengan refleks melotot ke arah Kai. "Terus saja melihatku seperti itu sampai bola matamu keluar!" cibir Kai pada Rere semakin membuat Rere naik darah.
"Kau pikir ini rumahmu dan kami menumpang padamu, ya?!"
"Ini rumah Jingga, dan Jingga tidak sepertimu, gumiho." Balas Kai penuh kemenangan memancing Jingga tersenyum samar melihat kelakuan keduanya.
"Kai masih suka membuang uang untuk sebuah prestise rupanya..." Jingga buka suara. Biasanya Kai akan menyangkal dengan segala hipotesa panjang yang membosankan untuk pembelaan diri namun tidak kali ini.
"Hm... aku masih begitu." Sahutnya sambil menunjukan senyum simpatik yang jarang terlihat. "Aku takut kalau gumiho itu akan memakanmu ketika ia kehilangan kesabaran dalam mengurusmu." Bantal kursipun mendarat sempurna tepat di belakang kepala Kai. "Lihat, kan?"
Mau tak mau Jingga memberikan senyum lebarnya menyaksikan semua ini, Kai bersyukur dan Rere tertegun untuk sesaat melihat Jingga yang familiar bagi mereka setelah beberapa hari ini seperti orang lain atau lebih mirip seperti zombie.
"Ayo ku antar ke kamarmu, Jingga." Ajak Rere.
"Hm..., aku tinggal dulu Kai. Kalian jangan menjadi Tom and Jerry karena aku belum punya tenaga yang cukup untuk menertawakan kalian, oke?"
"Oke..." ujar keduanya bersamaan.
Setelah meninggalkan Jingga di dalam kamar dan memastikan tidak ada lagi yang dibutuhkan, Rere keluar untuk menemui Kai yang sedang asyik memandangi isi lemari pendingin yang terisi penuh dengan bahan makanan, minuman serta camilan sehat.
"Sedang apa kau?"
"Mencoba untuk merampok makanan karena sepertinya aku lapar."
"Kau mau makan apa memangnya?"
"Aku sendiri juga bingung mau makan apa."
Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kursi makan yang letaknya tepat di seberang lemari pendingin, dua kursi darinya Rere duduk dengan manis dan masih menatapnya penuh tanya.
"Aku lapar, tetapi tidak berminat untuk makan." Jawab Kai akhirnya.
"Aku ingin makan buah saja, apa kau mau?"
"Terserah kau saja..."
Rere berlalu ke arah lemari pendingin, memilih beberapa butir apel dan pear, lalu mencucinya sebelum kemudian mengirisnya dan meletakannya pada piring buah, tak lupa Rere juga mengeluarkan minuman kaleng rasa pear dan menyerahkannya pada Kai, mereka pindah ke ruang teve untuk menghabiskan malam hanya dengan mengobrol membahas mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga hingga larut malam tanpa mereka sadari.
Tiba-tiba saja mereka mendengar jeritan histeris dari dalam kamar Jingga hingga mereka lompat dari duduknya berlari bersamaan untuk segera melihat keadaan Jingga.
"Jingga! Jinggaaaa!! Buka pintunyaa...!!" ucap mereka hampir berbarengan tapi hanya suara jeritan dan tangis yang menguasai atmosfer malam itu membuat mereka semakin panik. Kai berusaha membuka kenop pintu yang masih terkunci sementara Rere menggedor-gedor dengan keras.
Malam ini Jingga mimpi buruk, kenangannya pada Pierre ketika mereka bersama tumpang tindih dengan bayang-bayang kematian Pierre yang ia lihat di museum, baju yang masih menyisakan darah, foto jenazahnya, tali pengikat tangan semuanya begitu tumpang tindih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
General FictionHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...