Hari yang dinantikan Jingga akhirnya datang juga, hampir saja semalaman Jingga tidak tidur hanya karena terlalu senang memikirkan dirinya akan jalan-jalan ke salah satu museum. Pilihan Jingga adalah museum Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, museum tentang tujuh pahlawan revolusi.
"Lo serius ini pergi sendiri?" ulang Rere untuk kesekian kali membuat wajah manis Jingga kali ini ditekuk sebal. "Oke-oke... gue tahu kalau gue sudah ngulang ini beberapa kali, gue cuma ngerasa agak khawatir sama lo." Imbuhnya lagi.
"Ini bukan yang pertama kalinya gue pergi sendirian, Re. Terus lo lihat nih penampilan gue, santai banget kan, nggak ada glamornya sama sekali. Yakin deh kalau orang di luar sana nggak akan ngenalin gue." Yakin Jingga pada sahabat sekaligus manajernya ini.
Dengan berat hati Rere melepas kepergian Jingga ke museum. "Lo kabarin gue begitu sampai di tempat ya, Ngga. Jangan lupa. Nanti gue bisa lapor polisi gara-gara lo hilang." Kekeh Rere tetap menyuarakan kekhawatirannya. Mau tidak mau Jingga ikut terkekeh bersama Rere lalu ngeloyor pergi dengan mobilnya.
***
Sesampainya Jingga di museum, tak lupa Jingga segera men-texting Rere agar tidak khawatir lagi dan yang lebih jauhnya tidak melapor polisi. Setelah memasuki monumen Pancasila Sakti segera saja Jingga berjalan-jalan beserta pengunjung lainnya menyusuri kompleks museum tersebut membaca beberapa tulisan penjelasan mengenai kejadian pada tahun tersebut.
Jingga menyusuri monumen Pancasila dan berhenti tepat di depan tugu para para pahlawan revolusi. Hatinya sungguh miris membayangkan segala peristiwa yang terjadi saat itu, lama Jingga memandangi tugu itu sampai pada akhirnya beberapa pengunjung lain menegur dan mengajaknya ikut berfoto bersama.
"Permisi, Mbak. Mau ikutan foto nggak?" tegur salah seorang ibu yang menjadi salah satu pengunjung tersebut membuat Jingga sontak terkejut.
"Ah, ya! Tentu saja." Balas Jingga dengan tersenyum, lalu berpose bersama dengan beberapa pengunjung lainnya. Berfoto dengan menggunakan kamera ponsel masing-masing membuat Jingga berkali-kali pula ikut berpose dengan berbagai gaya. Setelah selesai, tak lupa Jingga mengucapkan terimakasih dan setelahnya Jingga melanjutkan kembali sesi jalan-jalannya menuju rumah yang menurut keterangan adalah tempat penyiksaan para pahlawan revolusi yang masih hidup sebelum akhirnya dibunuh dan dimasukkan kedalam sumur tua yang berada bersisian dengan rumah tersebut.
Jingga memerhatikan dengan seksama patung-patung yang merepresentasikan kejadian saat itu, hatinya menjadi sendu. Begitu menyedihkan pemandangan ini sekaligus menyakitkan, seharusnya banyak generasi muda yang menyempatkan diri datang ke museum ini agar mereka tidak melupakan sejarah kelam bangsa ini dan agar dapat menghargai para pahlawan ini, batin Jingga masih dengan memandangi satu persatu isi rumah tersebut. Kini Jingga menelusuri tempat sumur maut, hatinya seketika kecut melihat sumur kecil itu. Lagi dan lagi Jingga membayangkan semua kejadian itu sambil menerka seperti apa kira-kira suasana mencekamnya dulu. Tak terasa Jingga menitikan air mata, aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hati keluarga yang ditinggalkan, bukankah luka itu akan terus terasa selamanya? Batinnya bertanya-tanya lalu kembali melangkahkan kaki menuju dapur umum dan tempat pos komando.
Jingga melepas lelah berbarengan dengan pengunjung lain di depan dapur umum. Duduk di lantai sekenanya dan meminum air mineralnya, haus sekali pikirnya. Setelah sejenak hilang lelah kali ini Jingga melanjutkan sesi jalan-jalannya menuju museum Pengkhianatan PKI (Komunis) di dalam sana cukup ramai dengan pengunjung yang berlalu lalang melihat semua diorama pemberontakan yang pernah dilakukan oleh PKI dari awal hingga pemberontakan terakhir membuat Jingga terus saja bergidik ngeri kalau Appa yang menjadi korban dari keganasan ini entah bagaimana hatiku dan mama...

KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Ficción GeneralHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...