MENIMBANG RASA

911 103 5
                                    

Jingga merasa pipinya memerah untuk kesekian kali mengingat momen itu, betapa bodohnya ia. Mengapa harus reaksi yang seperti itu yang aku tunjukan kepadanya? Ulangnya dalam hati, karena ulahnya ini sekarang tiada hati tanpa rasa canggung kala bertemu dengan Pierre. Tiga hari, tiga hari berturut-turut dirinya selalu salah tingkah yang pada akhirnya membawanya pada tindakan bodoh. Seperti hari itu Jingga kembali mengenang.

"Aduh..." Jingga meringis merasakan jarinya terjepit pintu kala ia akan menutup pintu kamarnya.

"Kamu kenapa?" tanya Pierre terkejut mendengar Jingga yang mengaduh. Dengan menahan rasa sakit, Jingga hanya menggeleng lalu memaksa dirinya untuk tersenyum. "Iki wis yang ketiga kalinya kamu mengalami kecelakaan kecil. Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Pierre pada Jingga.

"Nggak ada yang aku pikirkan..." bohongnya.

"Kamu rindu keluargamu?" tanya Pierre hati-hati.

Tak ada jawaban dari Jingga. Ya, dia memang merindukan keluarga juga teman-temannya hanya saja dirinya sudah hampir menyerah untuk bisa kembali. Kalau bukan karena lelaki di hadapannya, Jingga pasti sudah frustasi berada di sini dan entah bagaimana nasibnya.

"Maaf..." ujar Pierre kemudian.

"Untuk apa?"

"Untuk pertanyaan yang salah."

"Hm... kamu nggak salah." Jawab Jingga sambil memamerkan senyum manisnya agar lelaki ini berhenti merasa bersalah karena memang tidak salah.

"Hal apa yang kamu sukai?" tanya Pierre untuk mengalihkan perhatian dari senyuman Jingga yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"Hmm?"

"Maksudku hal apa yang paling kamu sukai di masamu?"

"Ooh..., hm... kalau ada waktu luang aku suka menghabiskan waktu di The Reading Room untuk membaca buku sekaligus menikmati beberapa kudapan manis juga kopi, atau aku akan pergi ke coffee shop di bawah apartemenku dan menghabiskan waktu berjam-jam dengan melamun." Jawab Jingga sambil ingatannya melayang jauh ke masanya.

"Itu tempat yang seperti apa? Kalau dari namanya seperti Perpustakaan dan toko yang menjual kopi." Ujar Pierre yang masih berusaha membayangkannya.

"Ahh... biar ku tunjukan padamu." Jingga merogoh tas lalu mengambil ponselnya. "Dulu, Rere pernah mengambil gambar tempat-tempat yang aku ceritakan padamu." Ujar Jingga bersemangat.

Beberapa detik kemudian Pierre disuguhkan foto-foto ketika Jingga menikmati hal yang disukainya dan akhirnya Pierre melihat dengan mata kepala sendiri seseorang yang selalu disebut Jingga sebagai Rere. Gadis yang juga cukup manis berkulit kuning langsat dengan rambut hitam panjang hampir sepunggung seperti milik Jingga sekarang, riasan yang tidak mencolok tetapi terlihat sangat elegan, sepertinya juga tegas. Dalam foto yang ditunjukan Jingga padanya terlihat pemandangan yang sangat kontras antara Jingga dan Rere, yang satu terlihat berwarna dan ceria serta yang satu lagi teduh. Kalau digambarkan dengan warna Jingga adalah warna kuning, merah dan oranye sementara temannya adalah warna biru muda, biru tua dan ungu.

Lama Pierre menatap foto-foto itu. Rasa tak percaya yang menyeruak dan rasa takjub akan keajaiban yang terjadi di depan matanya melalui seorang bernama Jingga.

"Kamu cantik..." secara tak sadar Pierre mengatakannya pada Jingga membuat wanita itu kini terpana lalu tersipu malu. Pierre mengutuk lidahnya yang tak bisa ia ajak kompromi untuk menjaga rahasia.

"Terimakasih..." balas Jingga malu.

"Tapi..." ucapan Pierre menggantung.

"Tapi apa? Tanya Jingga was-was.

The Time When We Fell In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang