Hari ini Jingga meminta izin pada dokter Soewono untuk pergi ke suatu tempat, Jingga sengaja tidak menjelaskan secara spesifik karena Jingga tidak ingin kalau misinya terbaca.
"Mau kemana?"
"Saya ingin jalan-jalan, dok... sudah satu bulan lebih saya hanya berada di lingkungan rumah sakit."
"Kamu lebih baik pergi bersama Pierre." Saran dokter Soewono dengan sungguh-sungguh. "Kamu dititipkan di rumah sakit ini, kalau sampai ada apa-apa tanggung jawab itu ada padaku."
"Saya hanya jalan-jalan biasa dokter... saya rasa tidak perlu menunggu Pie... hm... maksud saya Mas Pierre." Setelah Jingga mendesak akhirnya dokter Soewono mengizinkan Jingga pergi dengan syarat sebelum jam lima sore dirinya sudah harus berada di rumah sakit ini lagi, tak banyak argumen Jingga mengiyakan dengan cepat.
"dokter, bolehkah saya meminjam sedikit uang untuk ongkos saya hari ini?" tanya Jingga malu-malu dan merasa benar-benar bodoh. dokter Soewono yang mendengar permintaan Jingga tidak bisa untuk tidak tersenyum dan geleng-geleng kepala.
"Tidak usah pinjam, aku akan memberimu. Pierre selalu menitipkan sedikit uang untuk semua keperluanmu, namun aku akan hanya mengambil sedikit dan menambahkannya dengan uang pribadiku." Penjelasan dokter Soewono sungguh membuat Jingga merasa terkejut. Jadi selama ini segala keperluannya ditanggung oleh lelaki itu, Jingga sungguh merasa malu karena menjadi beban sekaligus merasa hutang budi, entah bagaimana harus membalas segala hal baik yang telah dilakukan lelaki itu, lalu dokter ini. Jingga sungguh merasa terharu.
***
Jingga berkeliling dengan dokar, fasilitas angkutan yang masih umum digunakan pada masa itu. Sesungguhnya Jingga tidak tahu di mana tepatnya tempo hari itu dirinya ditemukan oleh Pierre. Lelaki itu tidak pernah menjawab dengan lengkap apa yang ditanyakannya kala itu. Alhasil Jingga berkeliling kota Bogor seperti ini.
Ketika sedang menikmati pemandangan kanan dan kiri di dalam sebuah dokar yang sudah kali ketiga ini dia ganti, tiba-tiba Jingga mendapati pemandangan sebelah kiri jalan mirip dengan tempat dirinya pertama kali mendarat. Samar namun mirip, salah ataupun benar Jingga tetap memilih turun dari dokar yang ditumpanginya. Dengan ragu, Jingga mulai memandangi dengan seksama. Sepertinya memang ini... jalan yang sedikit sepi, pohon-pohon besar dan sedikit jalan setapak. Jingga merasa agak takut sebelum memutuskan untuk menyusuri jalan setapak itu lagi. Jingga takut bertemu dengan para pencoleng mesum itu lagi namun, dia harus menemukan petunjuk mengenai dirinya, tentang sedikit saja alasan mengapa dia bisa ada di sini.
Jingga menyusuri jalan dengan sangat hati-hati, melihat ke kiri dan kanan, hutan yang tidak terlalu lebat dengan beberapa rumah penduduk terbuat dari bilik juga kayu. Segalanya masih sederhana. Jingga mengamati sekitar lalu melanjutkan langkahnya kembali mencari apapun yang mungkin saja tercecer namun diabaikan oleh orang lain.
Jingga menemukan tempatnya pertama kali terhempas, jadi seperti ini kalau siang terlihatnya. Batin Jingga. Pemandangan yang cukup indah dengan hamparan rumput hijau dan gunung di seberang mata. Jingga menyisir tempat tersebut dengan seksama, tiba-tiba saja seseorang memegang bahunya dari belakang membuat kontan saja tersentak. Jingga menghindar dengan cepat hampir saja dia berteriak kencang kalau saja tidak keburu melihat si pemilik tangan tersebut.
"Pierre...!!! Jeritnya, lelaki itupun tak kalah terkejutnya.
"Kamu, sedang apa di sini?! Apakah kamu sungguh-sungguh kehilangan akal dengan kembali ke sini sendiri?!!"
"Kamu memarahiku????" tanya Jingga tidak terima. Wajah Pierre terlihat tegang dan serius membuat Jingga tidak membutuhkan jawaban verbal untuk mengetahui kalau lelaki ini marah padanya. Jingga menepis tangan Pierre yang masih memegang bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Fiksi UmumHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...