IT'S ALWAYS BEEN YOU

583 79 5
                                    

Siang itu Jingga mendarat dengan selamat di Kota Medan dari perjalanannya yang cukup panjang karena setelah mendarat dari Korea ke Jakarta, tanpa jeda Jingga langsung membeli tiket untuk bertolak ke Medan serta memesan hotel secara mendadak melalui aplikasi di internet.

Mendapat cukup informasi melalui Ivan, Jingga merasa tidak akan kesulitan untuk menemukan markas Zeni di kota Medan meski tanpa teman yang menemani perjalanannya. Jingga memesan taksi online agar ia bisa menuju lokasi hotel yang terbilang cukup jauh dari Bandara.

Sesampainya Jingga di hotel di dekat kawasan Parapat, ia segera melakukan check in lalu setelahnya Jingga diantar oleh petugas hotel ke kamarnya. Jingga merapikan barang-barang bawaannya yang bisa dibilang cukup banyak, sepertinya Jingga sudah mempersiapkan diri untuk tinggal di Medan ini lebih dari satu bulan lamanya.

Jingga mengamati tempat tinggalnya sementara selama di Medan ini, hotel yang ia pilih memiliki cottage yang terpisah dari gedung utama ini lebih mirip rumah tinggal elegan yang cukup di huni hingga empat orang, biasanya para pebisnis yang memilih tempat ini karena ini termasuk dalam pilihan paling mewah serta memiliki pemandangan yang paling cantik. Setelah puas mengamati dari luar bangunan cottage yang di dominasi dengan warna merah bata ini, Jingga segera melangkahkan kakinya untuk masuk, melihat pemandangan ruang dengan seksama, Jingga sangat puas, paling tidak ia akan sangat nyaman di sini.

"Pierre..., Pierre... aku datang. Aku datang untukmu, maaf... lama sekali untukku menyadari dan menerima bahwa itu adalah kamu. Ah, maaf... nama kamu sekarang Dinan." Bisik Jingga pada udara, melepaskan rasa rindu yang sudah lama beringsut dalam dadanya.

***

Berbekal peta lokasi yang diberikan oleh Ivan kepada Jingga, siang itu ia bertolak dari hotel menuju markas Zeni di mana Dinan, Ivan dan teman lainnya bertugas dan tinggal. Jingga memesan taksi online menuju ke sana dengan hati yang berdebar dan perut yang terasa terpilin.

"Kenapa aku jadi gugup begini, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

"Ada apa?" pertanyaan dari sopir taksi online membuat Jingga terlonjak dari duduknya.

"Hmm, nggak apa-apa, Pak. Saya hanya sedang bicara sendiri."

"Ooh..., baik kalau begitu."

Jingga hanya menganggukan kepala dan senyum tipis ke arah bapak sopir yang sedang mengemudi.

Sesampainya Jingga di tempat yang dituju, ia segera melapor kepada petugas yang berjaga, namun Jingga harus menunggu dikarenakan Dinan, lelaki yang dicarinya sedang melakukan latihan gabungan dengan pasukan lain sehingga Jingga diminta menunggu di pos untuk penerimaan tamu.

"Ada apa mencari Danton Dinan? Keperluannya apa?" tanya salah seorang petugas dengan nada tegas juga penuh selidik.

"Saya ingin mewawancara beliau untuk keperluan riset buku yang sedang saya kerjakan."

"Memang mbaknya wartawan yang menulis buku juga?"

"Bukan, Pak. Saya bukan wartawan, saya penulis novel."

"Lah?! Kok Novel risetnya dengan Danton Dinan? Apa hubungannya?"

"Hmm, ini dikarenakan Dinan, maaf maksud saya Mas Dinan itu yang akan menjadi karakter utama Novel yang akan saya tulis." Petugas tadi hanya mengangguk –angguk setengah tidak percaya dengan penjelasan Jingga yang memang terpikir begitu saja.

"Ya sudah. Tunggu saja di sana." Ujar petugas yang tadi sambil menunjuk seberang ruangan yang berisi sofa kecil dan televisi tabung yang menayangkan berita lokal hari ini. di sanalah akhirnya Jingga menunggu Dinan.

The Time When We Fell In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang