Gadis ini membawa dirinya tanpa canggung sama sekali, makan di hadapan orang asing untuk sebagian orang akan sangat sulit terutama bagi wanita namun, wanita ini makan dengan lahapnya, bahkan karena melihat lahapnya dia makan, perutnya jadi terasa sangat lapar. Melihat caranya meminta sungguh sangat sopan dan caranya mengucapkan terimakasih kepada para pelayan karena telah mengantarkan makanan dan minumannya sungguh menawan membuat dirinya berpikir kalau gadis ini berkepribadian hangat dan tak kurang didikan dari orang tuanya.
"Memangnya kamu sudah kenyang?" tanya Jingga membuyarkan seluruh lamunan Pierre.
"Ya?" jawabnya setengah kaget.
"Kamu memangnya sudah kenyang?" ulang Jingga.
"Belum. Wong belum tak makan, kok." Pierre menunjuk piringnya yang masih penuh belum tersentuh sama sekali.
"Oooh... aku kira kamu sudah kenyang dengan hanya menatap aku terus." Goda Jingga tipis-tipis. Niatnya hanya biar mencairkan suasana karena lelaki di depannya ini terbilang kaku.
"Eheemmmm..." Pierre berdehem pelan lalu menyantap nasi gorengnya tanpa melihat sedikitpun lagi pada Jingga.
Jingga sungguh tak menyangka kalau reaksinya akan seperti itu. Pada umumnya lelaki akan bereaksi minimal itu senyum bukan gugup seperti habis ketahuan menyontek oleh guru. Jingga menggelengkan kepalanya tanda prihatin.
"Setelah kamu selesai makan, aku mau membuktikan kalau aku nggak bohong juga bukan orang gila. Apa kamu siap?"
Pierre menatap gadis di depannya ini, kadang kesabarannya habis ketika harus berhadapan dengan Jingga. Dirinya adalah seorang tentara yang hampir jarang sekali merasa gentar akan apapun yang menerjangnya namun, gadis ini sepertinya belum paham. Pierre sebal dibuatnya.
"Dengan apa pembuktian itu? Sebaiknya tidak main-main denganku." Tegas dan tajam kalimat Pierre meluncur dari bibirnya, biasanya akan mampu membuat lawan menjadi ciut nyalinya tapi sepertinya tidak mempan untuk seorang Jingga.
"Aku janji tidak main-main denganmu. Aku sungguh tidak akan pernah begitu padamu." Ucapnya dengan tatapan tulus dan senyum tipis menghiasi bibirnya.
Jantung Pierre kembali tak mau diajak kompromi, sebenarnya mereka sedang membicarakan apa sih? Kenapa malah jadi membuatku salah tingkah sendiri? Batinnya.
"Hanya kamu yang boleh tahu ini, tapi setelah aku memberikan bukti maukah kamu berjanji untuk membantuku pulang? Paling tidak bantu aku untuk menemukan jalan keluarnya?" Pinta Jingga memelas. "Aku sungguh ingin pulang, saat ini mungkin saja semua orang sudah mencariku kemana-mana atau mungkin sudah melaporkan kepada kepolisian bahwa aku hilang... manajerku pasti bingung karena mencari aku." Tutupnya.
"Manajer? Jadi kamu bekerja pada sebuah perusahaan?"
"Bukan Manajer yang itu, Pierre."
"Lalu?"
"Aku seorang penulis novel. Aku dikontrak oleh label perusahaan penerbitan raksasa di Jakarta, aku memiliki Manajer untuk mengatur seluruh kegiatanku. Mulai dari jadwal jumpa pers hingga jumpa fans. Lalu dia-pun mengelola setiap pemasukan yang aku buat dari kontrak penjualan buku-ku hingga ketika mereka akan membuatnya menjadi film layar lebar ataupun drama serial. Manajer yang seperti itu maksudku."
Lagi dan lagi Pierre dibuat melongo dengan penjelasan gadis ini. Bukan dirinya tidak mengerti tapi rasanya benar-benar sulit untuk dipercaya juga sulit untuk dicerna oleh akal sehat. Pierre hanya menangkupkan telapak tangannya ke wajah. Mumet tenan... pikirnya.
"Jadi kamu mau janji untuk membantuku?" Ulang Jingga
"Apa?? Ah, ya... akan aku usahakan untuk membantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
General FictionHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...