JAKARTA

1K 98 15
                                    

Flower of this purple dye,

Hit with cupid's archery, sink in apple

Of his eye.

-Shakespeare, A Midsummer Night's Dream-

Hampir setahun sudah Pierre dan Jingga terpisah jarak, hanya surat yang menjadi media komunikasi keduanya. Jingga-pun menjalani harinya tidak seberat ketika dia pertama kali sampai di sini, kini ia semakin dapat membaur dalam gaya hidup serta lingkungan tempat tinggalnya, alasannya adalah agar ia tidak merasa kesepian ketika Pierre tidak mengunjunginya.

Jingga berjalan menuju kalender yang tergantung di kamarnya, 12 Desember 1964... sudah mau habis tahun lagi tapi aku belum menemukan satu petunjuk-pun untuk dapat kembali ke masa-ku... aku kangen mama juga appa. Aku juga kangen Rere, dia pasti sangat mengkhawatirkanku saat ini...namun, kalau hari itu tiba apakah aku akan sanggup pergi darinya? gumam Jingga dalam hati, kini kehilangan Pierre terasa menyakitkan baginya.

Pierre selalu mengatakan padanya kalau dia sangat beruntung bertemu dengannya tapi rasanya bukan hanya Pierre yang merasa beruntung dengan pertemuan mereka melainkan juga dirinya. Jingga merasa sangat beruntung bertemu dengan sosok lelaki yang bertanggung jawab seperti Pierre, entah bagaimana nasibnya jika malam itu yang dia temui bukanlah Pierre. Tak pernah berhenti ia bersyukur pada Tuhan yang telah begitu baik memberikan Pierre padanya, hanya saja dirinya belum pernah secara gambling menyatakan apa yang ia rasakan untuk Pierre. Entah karena dirinya merasa malu atauhkah merasa takut kalau-kalau kalimat yang manis itu akan menjadi racun bagi mereka kelak. Jingga tidak ingin melukai hati Pierre, sungguh ia tak ingin.

***

Awal tahun di bulan Januari 1965, Pierre memberikan kejutan pada Jingga karena pagi-pagi sekali ia sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Jingga dan mengetuknya. Suara Jingga memecah pagi itu.

"Siapa?"

"Hmm... aku..." ujar Pierre di balik pintu dengan senyum manis mengembang di wajah gantengnya.

Terdengar suara langkah kaki yang tergesa untuk membuka pintu. "Kamu?!" dengan mata bundar yang terbuka lebar karena tidak percaya melihat pemandangan langka ini. "Bagaimana mungkin kamu bisa ada di depan kamarku? Aku pasti hanya mimpi..." ujar Jingga sambil membalikan badan untuk menutup pintu, tentu saja dengan cekatan Pierre mencegahnya dengan menarik lengan Jingga.

"Hei... aku ini sungguhan, bukan sekedar anganmu saja." Jingga yang mendengar segera saja terkekeh karena merasa telah berhasil menggoda Pierre. "Loh, kok ngguyu, toh?" tanya Pierre masih belum menyadari kalau dirinya hanya diganggu oleh Jingga.

"Aduuh... kamu, tuh... masa nggak tahu sih kalau aku cuma ganggu kamu saja." Dengan senyum lebar gemas menatap mata Pierre.

"Hooo... jadi kamu begitu ya..., aku ndak akan traktir kamu nasi goreng lagi." Pierre pura-pura marah pada Jingga.

"Pierre..., kamu nggak cocok ngambek gitu."

"Loh? Kenapa?"

"Hmm... males ah, kasih tahu kamu." Ledek Jingga pada Pierre dengan cengiran lebar. Karena kamu terlalu baik, karena kamu terlihat sangat kaku dalam berakting marah seperti yang saat ini kamu lakukan di hadapanku dan karena kamu terlihat begitu menggemaskan sampai aku ingin mencubit pipimu namun, aku urungkan semuanya karena jika terlalu banyak momen yang terekam oleh hati maka luka akan semakin menganga ketika perpisahan itu terjadi... getir rasa hatinya kini.

Pierre yang gemas hanya mengacak rambut Jingga dan secara tak sengaja bungkusan yang sejak tadi dia genggam terjatuh.

"Apa itu?" tanya Jingga

The Time When We Fell In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang