Masa belajarnya telah usai kini Pierre beserta beberapa teman lainnya ditarik oleh kesatuan mereka untuk kemudian dikirim ke medan pertempuran sebagai mata-mata. Karena tugas bersifat misi rahasia, Pierre tidak dapat mengabarkan pada siapapun, tidak keluarganya tidak juga Jingga perihal tugasnya kali ini. Pierre berangkat ke medan pertempuran untuk Ibu Pertiwi, Indonesia.
Hilangnya Pierre dari peredaran membuat Jingga bertanya-tanya tidak hanya pda diri sendiri melainkan pada seantero petugas rumah sakit yang mengenal Pierre.
"dok, apakah Mas Pierre menyampaikan pesan kalau dia akan datang hari ini?" tanyanya ketika menemui dokter Soewono.
"Pierre tidak mengabariku. Bisa jadi dia sedang bertugas untuk bangsa ini." Jawab dokter Soewono yang dibalas dengan anggukan Jingga.
Kalau memang bertugas seharusnya dia mengabariku, atau memberi tahukan kepadaku sebelum dia pergi. Apakah sesulit itu memberi sedikit kabar? Dirinya membatin kesal.
Semakin hari Jingga merasa kalau Pierre telah meninggalkannya, tidak lagi mau berteman dengannya, mungkin bagi lelaki itu sekarang dia hanya wanita kurang waras yang menyusahkannya.
Hari berganti minggu dan minggu sudah berganti bulan, Jingga tetap belum mendapatkan kabar apapun dari lelaki yang selama ini menemaninya. Jingga mulai meneliti hatinya, mengapa dirinya bisa merasa kehilangan seperti ini? Apakah kedudukan lelaki itu di hati Jingga? Apakah sama seperti Rere? Jingga belum menyimpulkan apapun hanya merasa kesal, seharusnya dia tidak terlalu bergantung padanya sehingga tidak perlu baginya merasa kehilangan. Aku benci rasa ini... ucapnya dalam hati.
"Sus, boleh aku minta beberapa buku tulis kosong dan pena?"
"Untuk apa, Nona Jingga?"
"Hanya untuk menulis beberapa hal..."
"Baik, akan aku siapkan untuk-mu." Tutup sang suster sambil berlalu.
***
Jingga menata ulang kamar yang digunakannya, uang yang dirinya terima dari hasil membantu pekerjaan di rumah sakit digunakannya untuk membeli beberapa kebutuhan menulis juga beberapa buku Sastra, adakalanya dokter Soewono memberinya bonus agar Jingga dapat membeli hal lain yang disukainya seperti gitar misalnya. Jingga menyukai gitar pada saat-saat tertentu yaitu untuk membunuh bosan, atau mencari inspirasi dari petikan-petikan lagu instrumental sederhana seperti yang diajarkan pada masa sekolah di Korea.
"dok, apakah dokter bisa membantu saya untuk mendapatkan buku Sastra karya W.S. Rendra yang berjudul Ia Sudah Bertualang?" tanya Jingga pada dokter Soewono, mengingat sulitnya mencari buku tersebut pada zaman Jingga. Sang dokter hanya menautkan alis kebingungan tak menyangka kalau Jingga memiliki cita rasa Sastra yang cukup mumpuni.
"Baik, akan aku carikan untukmu sebagai hadiah karena kamu sudah banyak membantu di sini. Anak-anak-pun sangat menyukaimu, mereka menjadi cepat sehat dari sakitnya karena hati mereka senang selama perawatan." Ujar dokter Soewono sambil tersenyum bijak pada Jingga yang disambut dengan rasa suka cita.
Jingga merombak interior kamar yang ditinggalinya seperti Perpustakaan kecil lengkap dengan meja kerja tempat di mana ia menghabiskan banyak malamnya dengan menulis atau membaca sebelum kemudian tidur. Rambutnya yang kini sudah melewati bahu, lebih banyak diikat ekor kuda atau digelung ke atas agar tak mengganggu aktifitasnya.
***
Nun jauh di perbatasan, seorang lelaki yang sudah sekian lama menikmati tugasnya untuk Ibu Pertiwi mulai merasa jenuh. Hatinya terasa lebih berat dari hari sebelumnya bahkan ini yang terparah sepanjang pengamatannya pada diri sendiri.
"Kenapa, toh? Melamun terus akhir-akhir ini bahkan koe ra iso turu." Ujar sahabat Pierre yang tergabung dalam kelompok pasukan yang dipimpin oleh Pierre. Sekilas Pierre menatap sahabatnya sambil tersenyum kecut lalu kembali membuang pandang keluar tenda.
"Aku kangen." Jawabnya pendek. Sahabatnya melongo mendengar pengakuan Pierre.
"Lho? Kangen karo sopo? Sejak kapan kamu punya pacar, toh?" tanyanya bingung, rasanya sahabatnya ini termasuk pria kaku yang sulit jatuh cinta tapi tiba-tiba dia bilang kangen, apa dirinya yang berlebihan menanggapi? Barang kali kangen dengan ibunda atau saudara-saudaranya.
"Belum jadi pacar, tapi aku sudah kangen padanya, opo ndak boleh?" timpal Pierre dengan wajah kalutnya. Sahabatnya-pun kini memahami situasi Pierre kalau kawannya ini sedang dimabuk cinta dengan seseorang diluar sepengetahuannya.
Sahabatnya menepuk bahunya lalu mengatakan pada Pierre kalau lebih baik mengiriminya sepucuk surat saja untuk melepas rindu namun, dengan segera Pierre menolak takut kalau suratnya malah akan tenggelam di laut lepas, kekhawatiran Pierre disambut dengan derai tawa. Ternyata sahabatnya adalah orang yang sangat romantis hingga sulit menahan rindu.
"Kamu ndak mau terus terang tentang hatimu? Bagaimana kalau kamu terlambat?"
"Maksudmu?"
"Terlambat karena gadis itu nanti keburu disambar orang." Goda sahabatnya lagi membuat Pierre nampak berpikir keras menimbang segala kemungkinan namun rasanya kalau sampai disambar orang lain apakah mungkin? Jingga tidak mengenal pria lain selain dirinya dan dokter Soewono.
Tapi, tunggu dulu dia tidak pernah menimbang kalau Jingga mungkin saja memiliki pria lain di masa depan, pada masanya di mana tak ada dirinya. Kekhawatiran Pierre tidak berhenti begitu saja mengingat bagaimana dia telah meninggalkan Jingga tanpa pesan apapun, bagaimana kesannya di mata gadis itu.
Pierre tidak berhenti menimbang perasaannya pada Jingga. Menyimpannya sampai akhirnya Jingga menemukan jalan pulang kembali ke masanya atau mengungkapkan isi hatinya meski akan berakhir sama yaitu dirinya ditinggal Jingga kembali ke masanya. Apapun itu yang aku tahu saat ini aku sangat kangen padamu, Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time When We Fell In Love
Ficción GeneralHello Readers ^_^ Tidak ada yang salah dari jatuh cinta, hanya saja jika cinta itu terjadi pada dua insan yang terpisah masa tentu akan menjadi suatu yang tidak lumrah. Hal inilah yang kemudian menyeret Jingga pada takdir yang tidak pernah ada dalam...