BAGIAN 31

31 4 0
                                    

Fadia melambaikan tangan saat mobil sang ayah melaju menjauh, lalu ia berbalik menatap gerbang sekolahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam merasa yakin dengan keputusan yang akan ia ambil.

Setelah sesi curhat dengan sang ayah tadi malam, Fadia jadi berpikir kalau tak ada salahnya memperjuangkan perasaannya pada Fajar. Karena nantinya hanya akan ada dua kemungkinan, yaitu penerimaan dan penolakan. Fadia tak mau menyesal suatu saat nanti jika tak mencobanya sekarang.

Gadis itu berjalan dengan yakin. Auranya pagi ini begitu cerah. Bibirnya tersenyum dengan wajah berseri.

"Fadia!"

Fadia yang merasa terpanggil menghentikan langkahnya, lalu menoleh kanan kiri mencari sumber suara. Hingga gadis itu melihat Fandi yang berlari kecil menuju dirinya membuat Fadia terpaku.

"Cantik banget hari ini," puji Fandi dengan tulus. Fandi yang biasanya tidak peka saja bisa merasakan aura positif yang Fadia pancarkan pagi ini.

Mengerti Fadia yang tak kunjung menjawab membuat Fandi kembali membuka suara, "temenin aku sarapan, yuk!"

Fadia mengernyit heran walau masih terbesit senyum tipis di bibirnya. Agak heran memang mendengar permintaan Fandi pagi ini.

Tanpa basa-basi lagi Fandi menggandeng tangan Fadia, membawanya ke kantin tanpa perlawanan sedikitpun dari si gadis.

"Kamu mau pesen apa?" tanya Fandi.

Fadia menggeleng, "aku gak mau apa-apa, aku tungguin kamu sarapan aja."

"Beh, nasi uduk lengkap sama es teh satu ya," ujar Fandi sedikit berteriak pada Babeh, salah satu pedagang kantin yang legendaris di sekolah.

"Masih pagi kenapa harus es teh?" gerutu Fadia dengan wajah sinis menatap Fandi.

"Beh, es tehnya gak jadi, ganti air putih aja," ujar Fandi meralat pesanannya yang tadi lalu menatap Fadia dengan senyum yang dipaksakan.

"Oke, siap!" jawab Babeh.

Sembari menunggu pesanannya, Fandi ingin memulai membicarakan tujuannya meminta Fadia menemaninya sarapan di kantin. Pemuda itu berdehem pelan, ia membenarkan duduknya lebih tegak menghadap lurus Fadia dihadapannya.

"Maaf ya, Fa," ujarnya lirih.

Fadia tersentak mendengar itu, tapi segera menguasai diri. Ia menghela nafas panjang diam-diam. "Maaf untuk apa?"

"Ya... untuk semuanya," jawab Fandi jadi canggung. Kepalanya tertunduk tak berani menatap mata Fadia.

"Semuanya itu yang mana aja?"

Fandi tertegun. Ia menelan ludah dengan susah payah. Fadia sudah berubah sekarang. Gadis itu jadi lebih berani.

"Ya pokoknya semua kesalahan aku."

"Jangan minta maaf kalo kamu sendiri gak tau kesalahanmu yang mana," ucap Fadia membuat Fandi makin tersudut.

Fandi yang masih menunduk kini sudah memejamkan mata, kesalahan-kesalahan yang ia perbuat pada Fadia sudah begitu banyak.

Fandi mengangkat kepalanya, menatap tepat manik mata Fadia. "Aku minta maaf karena udah buat kamu kecewa berkali-kali, sering ninggalin kamu, buat kamu nangis, dan aku juga sering gak peka sama perasaan kamu. Aku minta maaf untuk semua itu," ucapnya dengan mata yang menyendu merasa bersalah.

Fadia terenyuh, gadis itu bisa merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang Fandi tuturkan. Hatinya jadi menghangat, seutas senyum tercetak di wajah manisnya.

"Aku juga minta maaf ya kalo dulu aku mungkin sering cuek ke kamu," sahut Fadia, "aku sebenernya gak bermaksud gitu, tapi aku cuma bingung aja gimana cara ungkapin kepedulian itu ke kamu."

Ketika Senja Menuju FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang