Sepagi ini Rianty sudah memasak. Dan makanan yang dimasak pun cukup banyak mengingat ada tambahan 2 orang di rumah.
"Banyak banget masaknya, Ma," ujar Fadia yang baru saja turun dari kamarnya menghampiri Rianty di dapur.
"Kan ada Lyra sama Lian," jawab Rianty.
Fadia mengangguk saja. Ia jadi teringat ucapan Fajar tadi malam kalau ibunya sedang tidak ada di rumah. "Emmm... kalo aku bawa bekal ke sekolah untuk Fajar boleh gak, Ma?"
"Boleh," sahutnya sambil merapikan meja makan, "tapi kok tumben kamu bawain bekal Fajar?" tanyanya heran.
"Ibunya lagi gak di rumah, jadi kasian dia gak ada yang masakin," jelas Fadia jujur.
"Gak bisa masak sama sekali gitu? Masak mie? Atau goreng telor?"
"Cowok mana bisa masak, Ma," ujarnya.
"Eh jangan salah, itu si Papa bisa masak loh," elak Rianty.
"Ya kan Papa belajar dari Mama," sahutnya membalas elakan sang ibu.
"Itu si Ego juga bisa masak tuh."
Fadia mencibir, "Bang Ego mah bisa masak karena tinggal di rumah kakek jadi harus mandiri. Emangnya siapa kalo bukan Bang Ego yang masak? Kalo si Clarisa yang masak bisa-bisa dapurnya kebakaran duluan," gerutunya membuat Rianty terkekeh mendengarkan perkataan putri sulungnya itu.
"Yaudah, tapi kamu siapin sendiri ya bekalnya."
*****
Fadia termenung di ujung koridor. Bagaimana tidak jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri keakraban Fajar dan Imelda. Benar-benar terasa dunia milik berdua.
Entahlah. Rasanya muak melihat pemandangan itu. Ia berusaha menenangkan diri. Mengatur deru nafasnya mencoba tenang. Tidak, tidak mungkin ia memiliki perasaan pada pemuda itu saat hatinya masih milik Fandi sepenuhnya, atau setengahnya?
"Fa, ngapain disini?" tanya seorang pemuda yang akan melewati koridor dan tak sengaja melihat Fadia.
Fadia tersentak kaget, "eh, gak ngapa-ngapain kok," jawabnya gugup. Gadis itu berusaha menguasai raut wajah gelisahnya.
"Eh, Ka," panggil Fadia, "nih buat lo," katanya sembari menyerahkan kotak bekal yang pagi tadi ia siapkan.
Niat hati ingin memberikan pada Fajar. Tapi itu cowok sudah kenyang kayaknya haha hihi sama si Imelda. Jadi mending Fadia kasih ke Sheka aja.
"Eh? Serius?" sahut Sheka menatap Fadia tak percaya. Fadia mengangguk kecil.
"Serius buat gue ini?"
"Iya serius, makan aja gue udah kenyang," katanya sambil berjalan meninggalkan Sheka yang masih berdiri mematung.
Wajahnya jadi masam. "Gue kira beneran buat gue, eh ternyata karena dia udah kenyang," gumamnya dengan wajah lesu. "Emang nasib."
*****
Gadis itu berjalan sendirian dengan malas menuju ruang OSIS. Selama jam sekolah tadi ia berusaha mati-matian untuk menghindari Fajar. Moodnya masih berantakan dengan kejadian pagi tadi.
Sebenarnya Fadia mau pulang aja. Tapi tidak mungkin dia bolos rapat mingguan cuma karena Fajar ketawa-ketiwi sama si Imelda. Gak logis banget kan alasannya.
Selama berjalan Fadia memikirkan cara bagaimana ia bersikap biasa saja di depan Fajar seakan ia tak melihat apapun tadi pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Menuju Fajar
أدب المراهقين(Sequel of ADRIANTY) Ada rindu yang harus aku sampaikan. Namun, ada pula yang harus aku simpan. Dari Senja untuk Fajar. *** "Fadia.." panggil Fajar membuat Fadia kembali menghentikan langkahnya diambang pintu. "Kenapa?" Walau tak bisa melihat Fajar...