Fandi yang baru saja menuruni anak tangga langsung menghampiri Fadia yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Padahal televisi di depannya menyala, tapi ia abaikan.
Pemuda itu duduk di samping Fadia, membuat Fadia terlonjak kaget dengan kehadiran Fandi yang tiba-tiba.
Fadia menatap Fandi sambil mendengus sebal. "Ngagetin aja deh," gerutu Fadia.
Fandi malah cengengesan tak jelas. Lalu mengambil remote kontrol mengganti saluran televisinya.
"Mama sama Papa dimana?"
"Kayaknya tadi naik ke kamar," jawab Fadia tak mengalihkan pandangannya dari ponsel, "mungkin Papa kamu lagi bujuk Mama buat tidur bareng malem ini."
Fandi jadi manggut-manggut dan mendecak gemas. "Hm, bayi besar itu mulai lagi ternyata," ujar Fandi dengan wajah tanpa dosanya.
Pemuda itu menghela nafas pelan. Menyandarkan kepalanya di bahu Fadia, membuat gadis itu tersentak dan menegang di tempat. Fadia jadi meneguk ludah dengan susah payah. Sedangkan Fandi masih terlihat begitu santai.
Kepalanya mendusel mencoba mencari posisi nyamannya. Tangannya masih memencet remote kontrol, mencari tontonan yang menarik baginya.
"Ini TV minta diganti kayaknya," ujarnya mendumel sendiri.
"Kenapa?"
"Ya masa gak ada yang bagus acaranya," sahutnya mengadu dengan bibir bawah yang dimajukan.
"Kenapa sender-sender maksudnya?" balas Fadia agak sewot sambil mendelik menatap Fandi yang sedang mendongak dengan wajah polosnya.
Fandi jadi mengerutkan dahi. "Emang kenapa sih? Biasanya juga gini kan?"
"Ya.. yaa.. ya kan biasanya," balas Fadia jadi gugup. Bola matanya melirik kesana kemari menutupi salah tingkah, "ini kan lagi gak biasa."
"Kenapa?" tanya Fandi santai, pemuda itu menaikkan sebelah alisnya. "Jantungnya dag dig dug ya? Eh, apa hatinya juga ikut geter-geter?" ledek Fandi sambil mengerlingkan mata jahil.
"Minggir gak?" pinta Fadia sambil mendelik tajam.
"Gak ah, udah enak gini nyaman," ucap Fandi kembali mendusel, membuat Fadia memejamkan mata dan merutuki kelakuan pemuda itu.
"Kamu ini kenapa sih, Fan?"
Fadia mendorong kepala Fandi agar pemuda itu menjauh. Mau tak mau Fandi yang terdorong akhirnya menjauh dengan bibir yang merengut kesal.
"Oke oke," sahut Fandi mengalah, "aku gak bercanda lagi. Aku mau ngomong serius sama kamu sekarang."
Fandi memperbaiki duduknya. Dengan satu kaki terlipat di sofa dan badan yang menghadap Fadia. Gadis itu jadi mengerutkan kening bingung.
Ada apa dengan Fandi?
Fandi berdehem pelan menutupi kegugupannya. Kakinya bergerak kecil mengusir kecanggungan yang ada diantara keduanya.
"Fa, boleh aku minta satu kesempatan lagi sama kamu?" pinta Fandi kini dengan raut wajah yang serius. Matanya menatap lurus mencoba meyakinkan lawan bicara.
"Aku tau sulit buat kamu lupain semua kesalahanku di masa lalu. Bahkan kalo Om Jovi tau pun aku gak bakalan diizinin buat deket lagi sama kamu, tapi aku serius kali ini, Fa," lanjutnya kembali menjelaskan dengan nada suara yang lirih, tapi begitu dalam.
Fandi menghela nafas pelan. Ia masih terus menatap lurus Fadia yang kini sudah hilang kata. "Kita mulai semuanya dari awal, bener-bener dari awal. Aku gak akan paksa kamu untuk terima aku jadi pacar kamu lagi. Kita cukup pendekatan selayaknya orang-orang di luar sana yang lagi kasmaran dan selebihnya aku terima semua keputusan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Menuju Fajar
Fiksi Remaja(Sequel of ADRIANTY) Ada rindu yang harus aku sampaikan. Namun, ada pula yang harus aku simpan. Dari Senja untuk Fajar. *** "Fadia.." panggil Fajar membuat Fadia kembali menghentikan langkahnya diambang pintu. "Kenapa?" Walau tak bisa melihat Fajar...