BAGIAN 26

53 4 0
                                    

Fandi yang baru saja sampai di rumah harus melihat wajah berang ayahnya. Bagaimana tidak, Satria melihat Fandi jalan dengan gadis tetapi itu bukan Fadia.

Memang perihal mereka putus keluarga tak ada yang tau karena keduanya selalu bungkam. Yang tau hanyalah Rianty karena Lyra yang sempat menyeletuk saat mereka sedang ada di rumah pasangan Jovi Rianty.

"Apa itu tadi?" tanya Satria to the point pada anak semata wayangnya.

Fandi tertunduk. Bingung akan menjelaskan apa pada sang ayah. Sepertinya membela diri pun rasanya tak sanggup.

"Papa pernah minta apa sih sama kamu? Apa Papa pernah larang-larang kamu?"

Fandi memilih bungkam, hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.

"Papa gak akan marah kalau kamu memang udah putus sama Fadia. Tapi yang Papa minta cuma satu, jangan pernah sakiti dia."

"Ya tapi kan Fandi sama Fadia udah putus, Pa," sahut Fandi mencoba mengelak dengan ragu-ragu.

"Kalau dia liat kamu sama perempuan tadi pasti sakit hati. Perempuan gak semudah itu melupakan Fandi, gimana caranya buat kamu paham?"

April yang semula sedang berada di dapur kini menghampiri ayah dan anak yang sedang berdebat itu.

"Kami para orang tua mati-matian buat dia bahagia, sedangkan kamu semudah itu buat dia terluka," ujar Satria dengan nada penyesalan.

Ia menyesal karena justru anaknya sendiri yang melukai hati gadis itu. Sungguh ia kecewa pada dirinya sendiri. Apa ia sudah gagal mendidik anaknya?

Satria memijit pelipisnya. Pusing memikirkan kelakuan anaknya. Dia membebaskan anaknya karena tidak mau anak semata wayangnya merasakan hal yang sama dengan apa yang pernah dirinya rasakan.

"Kasih tau anakmu!"

Setelah mengatakan itu Satria pergi meninggalkan keduanya. Rasanya ia butuh mandi untuk menyegarkan diri dan pikirannya saat ini.

"Sini duduk!" pinta April menyuruh anaknya duduk di sebelahnya.

"Ma, aku gak salah kan? Aku sama Fadia udah putus," ucap Fandi seakan meminta pembelaan.

April menggeleng pelan sembari tersenyum. Tak ada gunanya memarahi putra semata wayangnya ini. "Kamu gak salah, tapi apa kamu pernah memikirkan perasaannya?"

Pemuda itu tersentak mendengar penuturan sang ibu. Walau suaranya lembut tetapi tepat pada sasaran.

"Mama tau apa yang kamu lakuin selama ini ke Fadia, ini bukan yang pertama kalinya kan?"

Bukan, ini bahkan yang kesekian kalinya. Tetapi Fadia selalu memaafkannya dan tak mengadukan segala perlakuannya kepada orang tua mereka.

"Selama ini juga Mama diam, dan sekarang Papa tau sendiri kelakuanmu."

"Kenapa Fandi seakan dihakimi gini, Ma?"

"Gak ada yang menghakimi kamu," ujar April mengelak, "kami sayang sama kalian semua," April menjeda perkataannya. Mengusap lembut kepala anaknya.

Kembali menatap mata putranya, "Tapi Fadia beda dari kalian. Itu kenapa kami selalu khawatir sama Fadia."

"Apa yang buat Fadia beda, Ma?"

"Waktu kecil Fadia sering sakit, dia gak bisa kecapean. Memang bukan penyakit serius, tapi kalau kambuh dan gak segera ditangani bisa berakibat fatal," jelas April.

"Itu kenapa kami gak keberatan kamu pacaran sama dia sejak kalian SMP, karena kami semua percaya kamu bisa jaga dia sebagai orang terdekat dan kepercayaannya."

Ketika Senja Menuju FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang