Fandi dan Fadia berkeliling taman kota sambil berpegangan tangan. Lebih tepatnya Fandi yang tak melepaskan genggaman tangannya pada jemari mungil Fadia.
Sejak dulu memang tangan Fadia yang selalu jadi favoritnya untuk ia genggam. Dengan senyum mengembang Fandi berjalan santai sambil mengayunkan genggaman itu.
Fadia tersenyum kecil menutupi salah tingkahnya. Pipinya jadi merona. Jantungnya sudah meledak-ledak sejak tadi. Semoga Fandi tidak bisa mendengar detakannya.
"Ada yang main basket tuh, mau liat gak?" ujar Fandi yang sudah menghentikan langkahnya, membuat Fadia ikut berhenti.
Fadia mengangguk singkat, lalu tersenyum sebagai jawaban.
Fandi dengan senang hati berjalan mengajak Fadia lebih dekat lagi pada area lapangan basket taman kota. Gadis itu hanya diam tertarik pasrah. Membiarkan Fandi melakukan apapun yang membuatnya senang.
Fadia berdehem kecil. Suasana memang agak ramai. Tautan tangannya dengan Fandi masih belum terlepas. Ia melirik kanan kiri, banyak pasang mata yang memperhatikannya.
"Ini gak mau dilepas dulu gitu?" tanya Fadia dengan canggung.
Fandi terlonjak kaget sampai termundur. Fadia bersuara saat penonton sedang berseru karena bola basket masuk ke dalam ring dengan sempurna.
"Kenapa?" tanya Fandi karena pemuda itu tidak mendengar suara Fadia yang tertimbun kebisingan.
Fadia hanya diam menatap Fandi. Kemudian gadis itu melirik tautan tangan keduanya, membuat Fandi manggut-manggut mengerti. Lalu pemuda itu melepaskan tautan tangannya yang ternyata sudah basah karena keringat.
Fadia menghela nafas lega. Namun, Fadia dibuat sesak nafas lagi saat Fandi yang tiba-tiba merangkulnya. Membawa tubuh gadis itu lebih dekat.
"Santai, bang," seru Fandi pada pemuda yang baru saja menyerobot masuk ke dalam kerumunan. Hampir saja Fadia ikut terdorong kalau Fandi tidak sigap merengkuh tubuh mungil Fadia.
"Jangan jauh-jauh dari aku," bisik Fandi tepat di telinga kiri Fadia.
Fadia membeku, lalu mengerjapkan kelopak matanya perlahan. Dan meneguk ludah dengan susah payah. Tidak berani menoleh ke arah pemuda yang masih setia di sampingnya dengan seringai jahilnya.
Fadia mau pulang saja. Ia sudah tidak sanggup lagi menghadapi perubahan sikap Fandi yang manis ini.
Namun, perasaan hangat menjalar dalam diri gadis itu. Setidaknya memberikan kesempatan terakhir untuk Fandi kali ini akan berujung baik.
*****
"Mau makan apa?" tanya Fandi yang tentu saja masih setia merangkul Fadia.
Fadia bergumam, ia menoleh kanan kiri mencari makanan yang menggugah seleranya. "Aku mau takoyaki aja deh," ujar Fadia pada akhirnya.
"Yakin mau takoyaki? Gak mau makan nasi aja?"
"Nanti aja makan nasinya, aku mau makan takoyaki dulu kayaknya disitu enak," ucap Fadia yang diangguki oleh Fandi.
Fadia memesan takoyakinya dan berdiri sambil memainkan ponsel di depan stand takoyaki tersebut. Sedangkan Fandi pergi ke salah satu stand minuman.
Fadia memekik kaget saat ada sesuatu yang dingin menempel pada pipinya. Ia langsung menatap pelaku dengan garang. Fandi malah tertawa lebar melihat wajah terkejut Fadia tadi.
"Lucu banget mukanya," kata Fandi membuat Fadia mencebik.
Pemuda itu memberikan salah satu minuman yang ia bawa pada Fadia. Gadis itu menerimanya walaupun masih dengan perasaan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Menuju Fajar
Teen Fiction(Sequel of ADRIANTY) Ada rindu yang harus aku sampaikan. Namun, ada pula yang harus aku simpan. Dari Senja untuk Fajar. *** "Fadia.." panggil Fajar membuat Fadia kembali menghentikan langkahnya diambang pintu. "Kenapa?" Walau tak bisa melihat Fajar...