3.00 AM
waktu terbaik untuk rindu. Rindu dia yang sudah tak lagi satu tujuan. Rindu dia yang dulu hatinya pernah ia patahkan. Rindu yang sialnya masih selalu ia simpan.Dan pada waktu itu pula, musik yang terputar dari ponsel bertukar menjadi i miss you, i'm sorry. Ia merasa sangat bodoh karena merindukan gadis itu. Padahal jelas, ia yang memutuskan hubungan, ia pula yang punya rindu paling dalam. Memang penyesalan selalu datang belakangan.
Ia lihat kontak yang ia beri nama 'J' itu. Foto profilnya masih sama ketika mereka berpacaran. Bahkan tidak pernah berubah. Gambar perempuan yang tersenyum lebar di pinggir jalan yang Dante tau itu adalah jalan rumah Jehan. Bahkan Dante juga tau bahwa foto itu diambil oleh Raka. Gadis itu jarang mengabadikan dirinya dalam bentuk foto. Fungsi ponselnya hanya satu, mendengar musik. Selain itu, mungkin si ponsel kehilangan fungsi.
Dante pernah berfoto dengan Jehan. Satu satunya foto bersama Jehan yang ia miliki. Saat gadis itu berulang tahun dan Dante membelikannya sepotong kue. Bahkan untuk mengambil foto pun Jehan harus dipaksa terlebih dahulu.
Membicarakan itu, membuat rindu itu jadi makin menggebu. Memaksa Dante untuk terus mengingat lagi kenangan apa yang sudah ia lakukan bersama gadis itu. Indah, dan Dante hanya dapat menyesal. Mengapa dulu ia berpaling. Mengapa dulu ia memilih usai. Mengapa dulu ia tidak pura-pura tuli saja mengenai perasaan Jehan terhadap Raka. Harusnya ia bisa lebih tegar waktu itu. Tapi, hanya emosi yang terus menghantui. Ketakutan bahwa Jehan hanya menjadikannya sebagai tameng untuk melindungi perasaannya. Membuat semuanya selesai meninggalkan luka.
Haruskah Dante memohon untuk kembali?
Bahkan sepertinya Jehan pun enggan melihat dirinya.
Kini, biarlah kenangan itu yang menemaninya, penyesalan yang menyadarkannya, dan sakit yang membinasakan rasanya.
• ° •
Dante keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam, tas dan sepatunya. Sudah pagi lagi dan ia harus berangkat sekolah. Laki-laki itu menuruni anak tangga satu persatu dengan wajahnya yang seperti biasa selalu terkesan galak. Ya, memang seperti itulah wajahnya jika di rumah. Berbeda saat bersama teman tongkrongan, wajahnya jauh lebih bersahabat.
"Sarapan dulu" ujar Mama saat melihat putranya itu melewati dapur.
Tak menjawab, kembaran dari Dyta itu terus berjalan seolah tak mendengar Mamanya.
"Sarapan dulu Dante Mahatma Braza" ulang Mama hingga langkah laki-laki itu berhenti seketika.
Ia menghela napasnya kemudian putar balik. Ia mendudukkan diri di sebelah Dyta yang tengah menyantap nasi goreng spesial buatan Mama.
Wanita paruh baya itu menyendoki nasi ke dalam piring kosong. Kemudian meletakkannya di hadapan si sulung. Beliau juga mengisi segelas air untuk anaknya minum.
Dante melahapnya, sementara Mama yang menyaksikan hanya tersenyum senang. Ia suka melihat pemandangan meja makan lengkap diisi suami dan anak kembarnya. Terasa sangat hangat meski ada satu orang yang harus dipaksa terlebih dahulu.
Tepat setelah Dyta meneguk airnya, Bi Puti jalan dengan tergopoh-gopoh mendekati meja makan.
"Non Dyta, Mas Raka nya udah di depan" ujarnya.
Dyta mengangguk dengan tak lupa mengucapkan terima kasih pada asisten rumah tangganya.
"Ma, Pa, Dyta berangkat dulu ya" pamit si cantik lalu menyalami orang tuanya satu persatu.
"Papa juga berangkat" pamit sang kepala keluarga mengambil jas dan tasnya.
"Hati-hati, Pa" jawab Mama kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020