#Lembar46: Sang Laut Dan Birunya

186 36 17
                                    

Raka dan Acha sama-sama mengeluarkan motornya dari parkiran. Dua manusia itu janjian untuk ke rumah sakit dan menjenguk Jehan bersamaan. Dua kendaraan roda dua itu pun melaju di jalanan dengan posisi motor Raka yang memimpin. Acha yang mengekor di belakang sibuk membelah fokus antara jalanan dan motor Raka. Ia takut nanti malah kehilangan laki-laki itu di tengah jalan raya ini. Tak lama setelah bergerak, motor Raka belok ke kiri. Acha sedikit mengernyit karena ini bukan jalan menuju rumah sakit. Namun akhirnya gadis itu mengekor saja karena ia pikir akan melewati jalan tikus. Namun ternyata, Raka berhenti di sebuah sekolah yang sama sibuknya dengan sekolah mereka. Banyak siswa dan siswi berlalu-lalang agar bisa pulang tepat waktu. Kendaraan roda dua itu berhenti di sebelah seorang yang duduk di atas motornya sembari memainkan ponsel. Setelah tau apa yang terjadi, Acha hanya menggumam oh panjang dibalik helmnya.

"Pier, sebelum pergi, gue mau ngomong sesuatu," kata Raka setelah membuka helmnya.

Pier menyimpan ponselnya. Ia menatap Raka serius karena pemuda itu melempar tatapan yang sama.

"Jehan sakit. Kronis. Bahkan katanya, dia udah nggak bisa bertahan lama," sambung Raka membuat Pier terdiam.

"Lo udah terima surat dari Gibran?"

"Udah."

"Nanti jangan kelihatan sedih, ya? Kita nggak mau menularkan energi yang sama ke Jehan. Jadi bersikap kayak biasa seolah-olah Jehan cuma demam? Okey?" Raka menatap Pier dan Acha secara bergantian. Setelah keduanya sama-sama mengangguk tanda paham, Raka menyalakan mesin motornya kembali.

Setelah pembicaraan itu, ketiganya berangkat menuju rumah sakit. Beberapa pertanyaan Pier mulai terjawab. Tentang mengapa Jehan memintanya menjauh. Tentang mengapa Jehan mendadak berubah. Tentang apa yang sadang Jehan alami sampai mengasingkan diri.

Bukan perjalanan yang jauh, Raka, Pier dan Acha tiba di rumah skit. Ketiganya jalan dengan lagi-lagi di pimpin oleh Raka. Karena pemuda itu sering berkunjung dan hapal ruangan yang selalu dipakai Jehan jika dirawat, membuatnya tak begitu kesulitan mencari koridor mana yang tepat tanpa takut tersasar.

Lift berhenti, remaja itu keluar dan kembali berjalan. Zav mengedarkan pandangannya. Ia sudah pernah memasuki bangsal VIP ini saat menjenguk Jehan kemarin. Tapi semakin di perhatikan, ternyata bangsal ini cukup besar dengan kesan elegan. Membuat Zav jadi berpikir, bahwa Jehan berasal dari keluarga berada.

Meski sudah pernah datang berkunjung ke rumahnya, Zav mana mungkin bisa memastikan keuangan dari keluarga Jehan.
Meski rumah mereka tidak terlalu besar, tapi keluarga ini cukup untuk menyewa bangsal VIP khusus untuk Jehan. Lagi pula, ia tidak terlalu peduli dengan finansial gadis itu, toh yang membuatnya jatuh cinta bukan itu.

Kali ini sedikit berbeda, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Raka langsung masuk begitu saja sembari mengucapkan salam. Diikuti Acha dan Zav yang juga ingin menyapa pemilik kamar. Dapat Zav lihat di sana hanya ada Jehan dan Gibran. Gadis yang tadinya sibuk membaca novel menoleh sembari membalas salam. Diikuti Gibran yang juga membalas meski tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

"Jeje!!!!" seru Acha kemudian memeluk gadis yang duduk di ranjangnya.

"Ih kangenn!!" balas Jehan sama antusiasnya.

"Gue apalagi!!!!" Acha berseru heboh.

Raka langsung duduk di sebelah Gibran sedang Zav berjalan mendekatinya. "Nih, Je," katanya menyerahkan box yang tadi ia bawa sebagai buah tangan.

"Pier pie?" Jehan menerima box itu seakan-akan paling tau dengan isinya.

Zav terkekeh, "Bukan, kali ini blueberry cake."

Jehan menganguk paham kemudian mengucap terima kasih. Zav senang mendengarnya, namun sedikit merasa aneh. Kenapa Jehan tidak terlihat menghindarinya lagi? Bahkan ia bersikap Seolah-olah tak ada yang terjadi di antara mereka. Seolah penolakan itu belum pernah Jehan lakukan. Dan mereka kembali menjelma jadi sepasang yang terikat.

"Eh, terus gimana? Kok bisa Dante duduk di kursi gue?" tanya Jehan kini pada Acha.

Gadis itu mengerut, perasan tadi ia tidak membicarakan Dante. Juga laki-laki itu sudah lama tidak menduduki kursi Jehan.

"Dante nggak," heran Acha mengerut kening.

"Lo bilang Dante duduk di kursi gue sambil tiap hari nanyain keadaan gue?" balas Jehan makin melantur.

"Gue nggak?" kerutan itu makin jelas di kening sahabatnya.

"Dih, lo yang bilang gitu kok."

"Hah???"

Jehan menghela napasnya. Lelah dia bicara dengan Acha yang memorinya sependek sumbu obor. Padahal jelas-jelas Acha mengatakan hal itu tepat sambil misuh dan berseru kesal.

"Dante lebih jelek dari kamu kok Zav," katanya kini beralih pada Zav. Pemuda itu kebingungan, ia tidak bertanya. Tak hanya Zav, Raka dan Acha juga menampilkan mimik yang serupa.

"Berarti aku jelek, Je?" tanya Zav mengikuti alur kepala Jehan.

"Raka! Janji cheese burger lo mana? Lo bilang mau bawain kalau ke sini," sudah, Jehan semakin aneh di mata Raka. Ia juga merasa dejavu, seakan hal ini baru terjadi beberapa waktu lalu. Nyatanya memang, tapi ini sudah hari yang berbeda. Namun kenapa hal itu jadi terulang?

"Delirium, dia halusinasi dari ingatannya," celetuk Gibran menjawab pertanyaan kepala Raka.

"Efek samping?" tanya Raka.

"Mungkin. Tapi ini masih mending, bahkan kemarin dia lupa sama gue," sambung pemuda itu.

"Kok bisa?" Raka terkejut tak percaya. Gibran yang senantiasa di depan mata Jehana, bisa dilupakan begitu saja.

Gibran mengangkat bahu, "Ya, mungkin gue bagian jelek dalam hidup dia."

"Ya kali!" seru Raka. Ia tau sesayang apa Jehan dengan adiknya.

Zav mengusap bahu Gibran mencoba menguatkan. Ia kemudian menarik kursi lain dan duduk di sebelah Jehan. Tangannya meraih tangan gadis itu sembari menatap si jelita.

"Je," panggilnya membuat Jehan menoleh.

Gadis itu nampak kebingungan juga gugup dalam satu waktu. Zav menggenggam tangannya tanpa aba-aba. Ia ingin menarik tangannya, tapi enggan juga karena tangan Zav terasa sangat hangat.

"Kamu tau warna kesukaanku?" tanya Zav menarik manik cokelat tua Jehan kepusat netranya.

"Biru laut," balas gadis itu.

Zav tersenyum, ia masih ingat rupanya. Zav pikir, Jehan sudah lupa bahkan tidak mengingat lagi tentang mereka dan toko buku kala itu.

"Katanya, Biru itu menunjukkan rasa aman dan percaya diri. Sedangkan laut, penuh dengan kebebasan. Maka kalau aku adalah laut, kamu adalah biru. Yang selalu membawa rasa aman dan percaya diri pada aku yang bebas dan lepas."

Jehan tersenyum mendengar itu. Perumpamaan yang terlalu metaforis namun masih terdengar manis. Kalimat indah dari semua pernyataan buruk yang belakangan selalu ia terima. Kalau bisa dan kalau saja mampu. Jehan akan ingat itu selalu. Bahwa birunya akan selalu membawa Zav pulang ke tempat yang lebih aman.

Jadi sad atau happy ending nih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jadi sad atau happy ending nih?

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang