#Lembar22: I Miss You, I'm Sorry

454 53 8
                                    

Jehan keluar dari kelas dengan buku gambar di tangannya. Tujuan kali ini adalah perpustakaan. Karena hari agak terik, jadi ia memilih untuk menggambar di perpustakaan saja. Lagi pula, perpustakaan itu sejuk karena berpendingin. Jadi untuk cuaca panas seperti ini, perpustakaan adalah destinasi yang tepat.

Tapi belum sempat kakinya menginjakkan kaki di perpustakaan, seseorang muncul dari balik tiang dan menghalang langkahnya. Jehan sempat kaget,. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat mereka kembali bertukar sapa. Bukan, lebih tepatnya, menyudutkan.

"Minggir," pinta Jehan baik-baik.

Yang menghadang jalannya tak bergerak. Ia hanya menatap Jehan yang lebih pendek darinya dengan pandangan yang benar-benar sulit Jehan diartikan.

"Kalau lo nggak minggir gue teriak—" belum sempat Jehan menjeda ucapannya, laki-laki itu maju selangkah hingga membuat Jehan refleks ikut mundur.

Gadis itu menatap tajam ke arah si pemuda. Seolah memberi peringatan agar jangan melakukan hal yang tidak-tidak. Namun nampaknya, lelaki itu tak menghiraukan tatapan menghunus Jehan.

"Minggir, Dan," lagi, belum sempat Jehan menyelesaikan ucapannya, Dante bergerak tanpa aba-aba. Kali ini, ia memeluk Jehana.

Gadis itu kaget, bahkan refleks memukul orang yang dengan seenaknya memeluk ia entah sebab apa.

"Lep-"

"Semalam Papa mukul gue lagi," potongnya kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sempit Jehan. Beberapa tatapan tak menyenangkan dari siswa maupun siswi tak ia hiraukan.

Jehan berhenti memukul Dante. Bahunya yang keras karena berusaha memberontak tiba-tiba melemas. Sejak dulu, ia tau kalau Ayah Dante sering memukul anak sulungnya. Bahkan hanya karena ia nilainya turun sedikit, tali pinggang langsung menghantam tubuhnya. Luka memar pada punggung dan kaki sudah bukan hal yang asing lagi. Jehan adalah saksi, seberapa menderitanya Dante di rumah dan seberapa bencinya Dante pada Papa. Jehan juga selalu jadi dokter dadakan saat tubuh Dante penuh luka memar. Jehan juga termasuk rumah yang menjadi tempat pulang paling baik yang Dante punya. Tapi rumah itu, rumah yang sangat istimewa itu, sudah Dante hancurkan dengan tangannya sendiri.

Gadis dengan rambut pendek yang hari ini sengaja ia kucir itu, mendorong tubuh Dante keras. Ia melempar tatapan benci pada si pemuda kemudian berteriak dengan lantang.

"Nggak ada urusannya sama gue. Jadi lo jangan kurang ajar!" kemudan ia pergi meninggalkan Dante sendirian di koridor. Meski dalam hati ia begitu mengasihani, tapi ia tidak ingin peduli lagi. Karena pedulinya hanya akan berujung pada sakit hati. Bukan Jehan, tapi pasti Dante lagi.

Dante menatap punggung sempit Jehan yang semakin menjauh. Rumah itu sudah asing. Rumah itu bukan miliknya lagi. Atau bahkan sejak awal, rumah itu hanyalah sebuah ilusi.

Lelaki itu berjalan meninggalkan koridor. Hatinya patah? Tentu saja. Bahkan hal itu sudah biasa baginya. Sudah sering dan sudah bosan Dante merasakannya. Entah asmara atau kehidupan pribadinya, tapi keduanya memang selalu jadi penyebabnya. Seakan semesta senang membuat laki-laki itu patah berulang kali.

Kakinya menginjak kantin. Matanya mengedar untuk mencari seseorang. Orang yang ia cari ternyata sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan dan makan hidangan kantin. Segera pemuda itu mendekati temannya yang sesekali melirik ke arah perempuan berambut panjang terkepang. Bukan, bukan perempuan yang ada di hadapannya. Tapi perempuan yang sedang menjaga gorengan di dekat ibunya. Siapa lagi kalau bukan Adinda pujaan hati Cakra.

Tanpa permisi atau apa, Dante langsung menyambar es teh manis milik Cakra yang masih penuh hingga menyisakannya setengah. Si pemilik minum yang tau minumannya telah dirampas langsung mendelik tak terima. Lalu dengan tingkat kepercayaandirinya yang setinggi angkasa, ia berteriak,

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang