Kantin ramai, itu sudah biasa. Yang tak biasa hanya si gadis invisible yang mau memasuki kantin di jam istirahat pertama. Biasanya ia hanya akan menitip makanan saja pada Cakra atau Acha. Tapi kali ini ia di kantin bahkan saat kantin sedang ramai diisi murid dari berbagai kelas. Dua gadis itu celingukan mencari tempat duduk kosong dengan tangan mengangkat nampan berisi makan siang.
"Di situ aja yuk, bareng Raka," ajak Acha menunjuk meja panjang yag diduduki Raka.
"Nggak ah, ada ceweknya," balas Jehan menolak karena takut terjadi hal yang bukan-bukan.
"Oh, iya juga, ya," Acha menilik satu per satu meja yang tersisa. "Di situ tuh, bareng Cakra."
"Ada Dante, Cha," tolak Jehan lagi.
"Oh iya, jangan deket-deket buaya, ntar di hap."
"Di situ aja tuh bareng Danes," kini giliran Jehan yang memberi usulan untuk duduk bersama Daneswara dan tiga kursi kosongnya. Namun bergantian pula, Acha yang tidak setuju.
"Mending jangan dari pada gue khilaf ngajak dia balikan," balas Acha menatap sahabatnya tak senang. Sedang Jehana terkekeh menanggapinya.
"Tuh, kosong. Yuk," Jehan kembali menunjuk meja yang baru saja ditinggal sekumpulan siswi yang cuma numpang minum. Segera dua gadis itu mengambil tempat sebelum dicuri murid lain.
"Duh, gila gue laper banget!" sambung Acha sembari membersihkan sendok dan garpunya dengan tisu.
Jehana melakukan hal yang sama, sembari menatap sepasang kekasih yang asyik tertawa entah karena apa, Jehan kembali merasa denyut sakit yang sama saat mimpi pernyataan cintanya ditolak. Kalau benar Raka tidak bisa menerima cintanya, maka selamanya pula Jehan tidak akan menyatakan perasaannya. Namun, ke mana akhir dari rasa ini? Penyesalan? Atau malah perayaan. Karena yang semua orang tau, bahwa Raka sangat menyayangi Dyta bahkan dari cara mereka bertatap mata.
"Bucin ew!" celetuk Acha sesaat setelah melihat ke arah yang sama dengan Jehana.
"Minimal tau tempat!" sambungnya malah emosi sendiri.
"Lo yang sewot?" balas Jehan menatap Acha keheranan.
"Sahabat lo tuh bilangin, kalau bucin seenggaknya liat sitkon!"
"Apaan tuh sitkon?"
"Situasi dan kondisi!"
"Ya elah, lo aja yang iri! Waktu pacaran sama Danes juga tiap hari tuh gue liat duduk bareng di kantin."
"Ya, tapi nggak sambil suap-suapan kek mereka. Cringe!!!"
Jehan tertawa. Iya sih, Acha dan Danes sewaktu pacaran hanya makan berdua sambil bertukar cerita. Nggak ada tuh sender-senderan manja di bahu apalagi sambil suap-suapan. Itu gaya pacaran yang menggelikan, menurutnya.
Sulung Ibun itu kembali menoleh pada Raka. Senyum pemuda itu sangat lebar dan ia terlihat sangat bahagia. Jika dipikir lagi, apa Raka pernah merasa bahagia saat bersama Jehan? Atau Jehan hanya beban bagi sahabatnya karena memiliki sesuatu yang berbeda? Mungkinkah Jehan bisa membuat Raka bahagia jika mereka bersama? Atau justru sebaliknya, Raka tidak pernah tau apa itu bahagia jika bersama Jehana?
Di seberang, seorang pemuda justru menatap dalam ke arahnya. Disaat si jelita menatap ke arah lelaki yang disukainya, Dante ikut memperhatikan perempuan yang masih belum bisa ia hapus dari ingatan. Nama gadis itu bahkan masih jadi yang terbesar dalam susunan apa saja yang ada di dalam hatinya. Kalau saja Jehana bisa melihat ke arahnya, mungkin ironi seperti ini tak akan pernah terjadi.
"Lo tuh kalau udah liat Jehan dalem banget. Secinta itu lo sama dia?" celetuk Cakra yang sejak tadi sadar akan gelagat aneh teman sebangkunya. Bukan cuma Cakra, mungkin satu sekolah dapat membaca cara Dante memandang Jehana yang berbeda. Jika permuda itu nampak menyeramkan dengan raut dingin dan mata tajam, maka semua itu hilang saat si pemuda menatap jelitanya.
"Sadar diri aja deh, man. Jehan nggak bakal mau sama lo. Ya, kali spek Jehana mau sama preman pasar kayak lo," sambungnya dengan ejekan.
Dante melirik sinis ke arahnya, "Minimal ngaca."
"Ganteng."
"Lo pernah naksir cewek?" tanya Dante random.
"Pernahlah! Lo pikir gue homo naksirnya sejenis?!" balasnya sambil sewot.
"Ya, biasa aja lagi. Gue cuma nanya."
"Kenapa? Mau minta tips and tricks meluluhkan hati gebetan, ya?"
"Dih?!"
Mata Dante kembali menatap figura Jehana. Ia bangkit dari duduknya sembari memegangi dada. Masih sakit di bagian yang sama, mungkin juga penyebabnya orang yang sama. Pemuda itu bangkit menyusul si jelita yang sudah keluar kantin. Kepalanya sedikit menunduk seolah sedang bersembunyi muka.
"Jeje!" panggilan itu sukses membuat si pemilik nama berhenti. Ia berbalik dan menatap Dante dengan campuran marah dan sedih.
"Berhenti nyakitin diri sendiri, Je," sambung pemuda itu berjalan mendekat.
"Berhenti sok tau tentang gue," balas gadis itu dingin.
"Je, lo nggak bisa selamanya gini terus. Lo tau Raka bahagia bareng Dyta. Lo tau siapa yang ada di hatinya dia. Lo tau kalau sampai kapan pun perasaan lo cuma abu-abu buat Raka."
"Gue tau, Dan, karena di sini gue antagonisnya!"
"Je," Dante meraih satu tangan Jehan. "Stop. Lo cuma akan nyakitin Raka, Dyta, juga diri lo sendiri. Gue nggak mau lo ngulangin luka yang sama kayak yang gue kasih. Jadi berhenti sebelum luka itu membunuh lo pelan-pelan."
Jehana menunduk. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan, jatuh dan membasahi pipinya. Perasaannya pada Raka jadi kacau balau. Rasa sayang itu menjadi bumerang yang membunuh Jehan dalam diam. Meski ia sudah tau, tapi saat diungkapkan, sakit itu makin menjadi. Makin mengoyak hatinya yang sejak awal tak baik-baik saja. Bahkan ini sudah yang ketiga kali. Setelah Ayah, Dante, lalu Raka. Tak satu pun cintanya berujung indah. Semuanya pukah dan membuatnya menyerah.
Ia hanya ingin mencintai. Tanpa balasan luka atau sesuatu yang membunuhnya. Ia hanya ingin merasa bahagia dengan cinta yang ia punya. Tanpa harus dipatahkan oleh kenyataan yang nelangsa. Bila cintanya selalu berakhir luka, maka semestinya ia memang tidak layak untuk cinta.
Jehana melepas paksa tangannya yang digenggam Dante. Semua yang dikatakannya menyedihkan, dan jadi semakin menyedihkan saat ia sadar bahwa semua itu adalah kebenaran. Bahwa Raka tak pernah melihat ke arahnya. Bahwa perasaannya hanya berujung luka pada semua orang. Bahwa cintanya terlalu abu-abu untuk bisa diterima oleh si pemiliknya. Ia pergi dengan membawa seluruh fakta yang ia terima, menelan seluruhnya meski tau itu akan membunuhnya. Namun, jika itu bisa membuat cintanya mati, maka harusnya ia lakukan itu sejak lama.
"Forget him, Je. And come back to me."
Kalian kalo jadi jehana lanjut trobos aja apa mundur? 🙊
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020