#Lembar7: Jehan Kenapa?

590 93 7
                                    

Seperti biasa, saat istirahat Jehan akan pergi ke rooftop atau ke perpustakaan. Destinasi tempat yang akan ia kunjungi hari ini adalah perpus. Sekalian ngadem karena perpustakaan dilengkapi fasilitas ac dan wifi. Jadi tempat itu sering didatangi siswa siswi yang kerkedok belajar padahal ngadem sama numpang wifi. 

Hari ini ia tidak menggambar, Jehan ingin mengistirahatkan tangannya dan ingin membuat otaknya sibuk sebentar. Ia pergi ke deretan rak buku Bahasa Indonesia. Gadis berambut pendek sebahu itu meraih satu buku paket untuk ia baca. Namun saat berbalik, seseorang telah berdiri dan menghadang jalannya.

"Hai, Jehana" panggil oramg itu dengan pandangannya yang selalu tajam.

"D-dante?" ucap Jehan tergagap. Tangannya mulai gemetar melihat laki laki itu berjalan maju mendekatinya.

"Lama nggak ketemu? Masih jadi prioritas Raka? Atau sudah lebih dari sekedar sahabat? Oh ya, dari awal kalian memang bukan sahabatkan?" tanya Dante menatap mata Jehan dengan tajam.

Tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan bukunya. Tangannya mulai dingin karena Dante yang terlihat menakutkan saat ini.

"Gue nggak nyangka bakal ketemu lo disekolah ini. Gue jadi penasaran, apa orang orang udah tau tentang keadaan lo ya? Apa semua orang percaya gitu aja ya? Apa orang orang panik waktu lo pingsan ya? Boleh gue coba nggak, Je?"

"D-dante stop" ucap Jehan kini memegangi kepalanya. Pusing perlahan lahan membuat keseimbangan tubuhnya hilang. Kakinya mulai lemas seolah tak lagi mampu menopang tubuhnya.

"Mereka bodoh karena percaya sama lo, Je. Tapi tenang, setelah ini mereka bakal tau dan nggak ada yang peduli lagi sama lo"

Bruk!
Jehan tumbang dengan menimbulkan bunyi sedikit keras. Seisi perpustakaan menoleh pada mereka, membuat beberapa orang jadi berpikir bahwa Dante sudah berbuat jahat pada Jehan. 

.

.

.

.

Prang!
Jehan terbangun dari tidurnya ketika mendengar bunyi pecahan kaca. Samar samar ia juga mendengar bentakan juga isakan dari luar. Jehan yang waktu itu masih berusia enam tahun berjalan keluar dengan mengendap endap. Ia takut, tapi ia lebih takut dengan apa yang terjadi disana. Karena suara isakan itu terdengar seperti suara Ibunnya.

Jehan mengintip, disana terlihat sang Ayah tengah membanting vas bunga sementara Ibunnya menangis dan berusaha menghentikan suaminya.

"Kamu tidak berhak mengatur saya. Saya tidak pernah mencintai kamu, pernikahan inilah yang memaksa saya untuk mencintaimu. Kamu harusnya sadar, bahwa saya tidak akan pernah mencintai kamu!"

Jehan tekejut mendengarnya. Ia takut, ia menahan tangisnya. Apalagi melihat Ibun yang sedang mencoba menenangkan Ayah yang sudah meledak ledak itu.

"Kak..." panggilan itu membuat Jehan berbalik dan mendapati adiknya terbangun sembari mengucek matanya.

"Sstt" Jehan berdesis pelan agar adiknya tidak berisik. Ia tidak mau kalau sampai Ayah dan Ibunnya tau kalau mereka tengah memperhatikan.

Gibran yang melihat itu juga ketakutan, ia memeluk lengan kakaknya erat dan bersembunyi dibalik punggung Jehan.

"Gibran" panggil Jehan membuat Gibran menoleh menatap kakaknya.

"Nanti kakak jatuh, kamu nangis yang kenceng sambil manggil Ibun ya?" ujar Jehan dan mendapat anggukan dari adiknya.

Jehan tidak sanggup melihat kejadian itu lagi. Ia menarik napas dan berhitung sampai tiga. Lalu dihitungan ketiga, ia menjatuhkan diri seolah sedang pingsan. Gibran sempat kaget karena tidak berpikir kakaknya akan tiba tiba jatuh seperti itu. Bunyi benturan terdengar keras. Membuat Jehan sedikit meringis karena kepalanya terbentur lantai. Ia rasa kepalanya berdarah sekarang. Tapi ia akan bertahan pada posisinya.

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang