20 Februari 2002.
Delapan belas tahun lalu ditanggal dan bulan yang serupa, lahir seorang hawa yang diyakini bisa membawa bahagia di bahtera rumah tangga sepasang manusia. Ia diberi nama prajurit meriam dengan maksud semoga jiwa raganya bisa sekuat nama yang ia terima. Nyatanya, Ya. Jehana Renjani Sarageni. Meski bertubuh kecil dan mungil, sukmanya setangguh gunung, nuraninya selembut hembusan bayu, dan afeksi nya sehangat bara. Ia adalah harapan kecil sepasang manusia yang mana meski berpisah juga tetap jadi yang pertama untuk dirampungkan.Nirmala menatap putrinya yang tertidur tenang. Hari ini, si buah cinta yang menjiplak kecantikannya sedang bertambah usia. Disentuhnya lengan itu sembari berkata, "Kak, bangun. Ini ada temen-temen kamu."
Kedua mata itu perlahan terbuka. Pupilnya mengedar ke segela arah hingga menangkap satu per satu figur mereka yang berdiri melingkarinya.
"Selamat ulang tahun, Jeje," ucap Raka, Acha juga Zav dengan suara yang pelan. Gadis yang terbaring lemah itu tersenyum. Hari ini tiba. Pertambahan usia yang selalu dirayakan dengan sopotong kue lengkap dengan lilinnya. Juga sebait doa yang nanti akan diaminkan bersama-sama.
"Makasih," katanya menatap mereka satu per satu.
"Happy birthday, Je, semoga apa yang kita semua semogakan bisa secepatnya di kabulkan. Cepet sembuh sayangnya Acha!" ucap si jelita menyerahkan hadiahnya kepada Jehan.
"Thank you, Cha," ucapnya kemudian merentangkan tangan untuk menerima pelukan Acha.
"Je, Selamat ulang tahun," katanya. Pemuda yang sama tingginya dengan Raka. Bersenyum manis dengan netra cokelat pekat yang hilang ketika tersenyum. Bibirnya ranum, hidungnya mancung pun kulitnya putih bersih. Jehana seperti sedang melihat pahatan semesta yang bisa bicara.
Gadis itu bisu. Menatap Zav yang berdiri tepat di sebelah Raka sembari memegangi sebuket bunga. Marigold. Bukannya Jehan pernah bercerita kalau arti bunga ini menyedihkan? Tapi semua yang memilukan adalah semua yang ia idahkan.
"Dante mana?" satu pertanyaan itu keluar setelah jeda yang cukup panjang. Raka kebingungan seraya melempar pandang ke arah Acha dan Zav. Setelah selama ini ia membenci, di hari ulang tahunnya Jehana malah mencari-cari keberadaan si mantan.
"Dante di rumahnya lah," jawab Raka agak tergugu.
"Panggilin suruh ke sini," sambung Jehan membuat kerutan di jidat mereka bertiga bahkan Gibran semakin jelas.
Tanpa banyak bertanya meski kepalanya penuh kebingungan, Raka langsung keluar dari ruangan Jehan untuk menghubungi Dante. Lelaki itu merogoh saku kanannya meraih ponsel sedangkan tangan yang satunya sibuk mencari selembar kertas di saku kirinya.
Satu nama yang ia simpan dengan tak sopan Raka tekan. Bunyi sambungan telepon terdengar beberapa kali sampai akhirnya bunyi deheman yang familiar keluar.
"Dan," panggil Raka memastikan.
"Apaan, anjing?" balasnya malah tak santai.
"Jehan. Lo diundang ke ulang tahunnya," sambung Raka seperti yakin tak yakin. Yang benar saja Jehan memanggil Dante ke sini.
"Gue?" Dante terdengar kaget dan tak percaya. Sama seperti Raka.
"Iya, gue sharelock. Jangan lama," finalnya kemudian mematikan sambungan itu.
Pemuda itu menghela napasnya. Entah kenapa perasaannya jadi tak enak. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi ia tidak bisa tebak apa itu.
• ° •
Jehan menatap orang-orang itu satu per satu. Semua yang ada di sini adalah mereka yang sayang untuk ia tinggalkan. Mereka yang memberinya banyak cinta meski ia banyak kehilangan cinta. Semua yang membiasakannya untuk menerima sesuatu meski di luar rencana. Hidupnya yang rumpang terasa genap diisi mereka. Cintanya memang tak cukup besar untuk membalas satu per satu. Namun afeksi nya akan terus tumbuh meski raganya sudah tinggal nama. Dari jauh akan ia kirim lewat sebaik-baiknya musim yang jatuh ke bumi.
"Ibun," panggil gadis itu membuat sang empu mengangguk. Tangan yang sejak tadi saling menggenggam itu semakin erat mendekap. Sedang satu tangan lainnya sibuk membuka masker oksigen.
"Makasih udah melahirkan Jeje. Jeje bersyukur jadi anak Ibun. Walaupun kenyataannya, Jeje nggak bisa bertahan. Peran anak pertama terlalu berat untuk Jeje pikul, Bun. Mungkin kalau ada lain kali, Jeje mau jadi jantung. Yang bisa terus sama Ibun sampai nanti kita di kubur," wanita berhijab itu tak membalas apa-apa. Lidahnya kelu dan tenggorokannya tercekat. Kata demi kata yang keluar dari bibir putrinya mengukir goresan kecil namun banyak di hatinya.
"Gibran, nanti kita ketemu lagi, ya? Makasih karena selalu jadi temanku. Seaneh apapun, bareng kamu pasti selalu seru. Maaf harus pergi lebih dulu," ia menatap Gibran yang telah menangis sesenggukan. Bagaimana bisa Kakaknya mengucapkan selamat tinggal tepat di hari penambahan usia?
"Acha dan...kamu. Maaf aku lupa, tapi aku tau kalau kamu juga bagian yang menyenangkan. Makasih untuk semua hal yang pernah kejadian. Aku senang, kalian bagian menarik yang nanti akan ku ceritakan ke tuhan."
"Jeje!!" teriakan itu mengambil atensi seluruh kepala yang ada di sana. Di depan pintu berdiri seorang lelaki berambut panjang, napas yang tak beraturan dan mata yang basah sampai ke mana-mana.
Gadis itu menatapnya. Rupa orang yang membuatnya mengenal cinta. Meski tidak pernah bisa jadi cinta pertama, namun bersamanya Jehan bisa tau rasanya dicintai dengan rona paling sederhana. Manusia yang meski terlihat jahatnya, tetap yang paling baik untuk menjadi antagonis. Di belakangnya pula ada teman yang sering di sebut cinta pertama. Tubuhnya bergetar lemas seakan tak sanggup melanjutkan langkah. Matanya pun sama banjirnya, sama menyedihkannya, sama redupnya.
Jehana tersenyum menatap mereka berdua. Kemudian perlahan matanya menutup diikuti teriakan nyaring dari layar monitor yang mengukir garis lurus berkepanjangan. Namanya kompak diserukan. Berkali-kali. Berulang-ulang. Semakin keras. Namun yang dipanggil sudah tak ada di sana. Ia pergi dengan membawa seluruh cinta yang dilabeli sebagai hadiah untuk Jehana. Meninggalkan nama dan sepotong hati yang tak pernah jadi miliknya.
Jehana Renjani, di hari pertambahan usianya ia harus pulang pada pelukan bumi. Sang Pemimpi yang cukup banyak menanggung rasa sakit selama hidup di sini akhirnya menutup bukunya dengan titik. Pulang yang selama ini ia nanti akhirnya bisa terpenuhi. Meski bukan pulang yang ia ingini, namun semua ego kepalanya bisa terlampiaskan. Delapan belas tahun petualangannya di dunia, banyak rasa yang telah ia coba. Meski sakit dan gelap mendominasi, hidupnya tetap memiliki banyak arti. Pada akhirnya, ia pun tau makna berdamai bukan hanya tentang memaafkan, tapi juga menerima semua alur yang tidak bisa diubah.
-rampung-
Selamat menemui bagian terakhir dari Querencia! Swipe up!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Hayran Kurgu(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020