Sentuhan pada bahunya membuat pemuda 17 tahun itu menoleh. Matanya sejak tadi tak mau beralih dari gadis manis yang tenang dalam tidurnya. Rakalingga Baskara tiba tepat saat Jehan membuka mata. Pemuda itu langsung memeluk sahabatnya karena kepalang risau dengan apa yang terjadi. Namun Jehan diam, tak membalas, bahkan tak menunjukkan raut senang. Wajahnya datar dan sorot matanya kosong.
"Udah, Raka. Biar Jeje istirahat. Kamu pulang gih, nanti dicariin Umi," kata Ibun membuat Raka menghela napasnya.
Pemuda Baskara itu bangkit dan pergi meninggalkan kamar Jehan. Ibun belum bilang yang sebenarnya, sejauh ini yang Raka tau hanya kondisi Jehan drop setelah bertemu Ayah.
Kakinya melangkah ke kamar Gibran. Mengetuk pintu pemuda itu dua kali sebelum akhirnya masuk dan menjumpai adik Jehan yang tidur meringkuk di atas kasur.
"Dek..." panggil Raka mengambil atensi. Namun Gibran tak mengacuhkan panggilan itu.
"Lo gapapa?" tanya Raka lagi namun masih tak dibalas.
"Jangan gini lah, Dek. Kalau lo kayak gini juga Ibun gimana?" bujuknya namun Gibran masih enggan buka suara.
"Jangan terlalu dipikirin, ya? Jeje bakal baik-baik aja kok," ia menepuk lengan Gibran dua kali sebelum akhirnya bangkit dan pergi.
Raka keluar dari rumah Jehan dan beranjak hendak pulang. Sejak matahari masih bertandang tadi, sampai sekarang telah pulang ke haribaan Raka belum juga menghubungi Dyta. Mungkin gadis itu akan marah padanya. Atau bahkan ini akan jadi urusan yang panjang karena kesalahannya yang terlalu fatal. Raka membuka ponselnya hendak menghubungi Dyta. Namun ternyata notifikasi dari si jelita sudah sejak tadi mengisi layar kuncinya.
Dengan panik, Rakalingga kembali menaiki motor dan memakai helmnya. Umi yang baru saja hendak menyambut kepulangannya jadi mengerut kebingungan karena anak itu bukannya langsung pulang malah lanjut pergi lagi. Bahkan panggilan Umi tak diidahkan sama sekali karena si pemuda yang kalang-kabut. Tidak ia duga, ternyata Dyta telah sampai pada batas sabarnya. Ia tau Dyta marah, tapi tidak menduga bahwa gadis itu akan meminta usai.
Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dyta. Laki-laki itu memanggili si pemilik rumah sambil sesekali meneleponnya namun sial tak diangkat. Hingga akhirnya, gadis berambut panjang dengan mata sipit itu keluar dari rumah. Matanya sipit jadi semakin sipit karena mungkin habis menangis.
Dyta membuka pagar, berdiri tepat di depan Raka.
"Apa?" tanya nya tak mau menatap netra Raka.
"Kenapa, Dyt?" Raka balik bertanya sembari memegang kedua bahu gadis itu.
"Kamu pikir sendiri," jawabnya melepaskan pegangan Raka.
"Jehan? Dyt, aku sama-"
"Sahabat? Iya aku tau, Ka! Yang ku permasalahin bukan hubungan kalian. Tapi sikap kamu!" air matanya jatuh lagi entah sudah yang keberapa kali. Sejak pulang dari kafe tadi, Dyta tak berhenti menangisi lelaki brengsek yang meninggalkannya begitu saja demi perempuan lain.
"Kamu selalu memperlakukan Jehan sebagai prioritas kamu. Bahkan tadi aja kamu langsung datengin dia."
"Jehan pingsan, Dyta. Dia sakit, jadi aku langsung datengin dia. Aku nggak bisa ninggalin dia sendiri," pembelaan yang sama setiap harinya. Mengedepankan dalih bahwa Jehan sakit dan tidak bisa ia tinggalkan sendiri.
"Kamu tuh terus belain Jehan!" serunya kini buang muka karena lagi-lagi Raka harus membela Jehana dalam setiap pertengkaran mereka.
"Aku bukan belain Jeje, Dyt. Aku belain kamu dari over thinking kamu," meski ia emosi tapi Raka tetap menjaga nada bicaranya agar tak kelewat tinggi.
"Tapi posisinya kamu lagi sama aku Raka! Harusnya kamu jelasin dulu! Kamu pamit dulu! Tapi kamu langsung pergi gitu aja!" racaunya. Air lukanya sudah tak bisa lagi ia tahan. Marahnya meluap dan tumpah jadi curahan yang sulit ia kendalikan.
Raka menghela napasnya. "Oke, aku minta maaf soal tadi. Aku salah udah ninggalin kamu. Tapi kenapa harus putus, Dyt?"
"Aku muak sama kamu, Raka. Sama sikap kamu yang terlalu baik ke Jehan. Selalu mendahulukan dia. Bahkan kamu 24 jam sama dia, Ka! Sementara aku? Nunggu giliran!" Dyta berbalik hendak masuk ke rumah. Tapi Raka langsung menarik lengannya dan membuat gadis itu berhenti.
"Dengerin aku dulu-"
"Nggak! Nggak ada alasan lain lagi, Ka," Dyta menatap Raka untuk terakhir kalinya. Ia melepas pegangan tangan Raka pada pergelangan tangannya. "Kita selesai," dan ia masuk begitu saja meninggalkan si pemuda di sana.
Kata selesai itu menyengat hatinya. Selugas itu Dyta mengatakannya padahal berpisah bukanlah kata yang bisa diucapkan dengan gamblang. Namun jika ia pikirkan lagi, jelas ini semua memang harus diakhiri. Raka yang semakin bingung dengan penempatan posisi yang benar, sedang Dyta yang sudah sampai pada batas sabar. Siapa pun pasti muak. Raka tau dan ia akui itu.
"Brengsek!" seruan itu nyaring terdengar bersamaan dengan pukulan yang datang dari arah belakang. Rakalingga tersungkur ke tanah dengan sudut bibir yang sedikit terluka.
"Gue bilang jangan buat Dyta nangis, anjing!!" pukulan itu datang lagi. Kini lebih banyak dan ia tak dapat bergerak karena perutnya diduduki.
Wajah itu nampak jelas di matanya. Seorang pemuda yang juga ia benci karena pernah menyakiti sahabatnya. Raut murkanya membuat Raka seperti berkaca. Ah, jadi begini rupanya kalau ia sedang tersulut emosi. Tangannya melayang ringan dan wajahnya seperti orang kerasukan. Mungkin ini juga bentuk pembalasan karena sering dipukuli oleh Raka.
Dante menarik leher baju Raka mendekat ke wajahnya. "Jangan ganggu adek gue lagi," setelahnya ia hempaskan begitu saja Raka yang sama sekali tak melawan. Ia diam bahkan saat Dante menghajar wajahnya habis-habisan. Tenaganya habis duluan karena menyambut perpisahan.
Raka membuang napasnya yang sejak tadi tertahan. Menatap langit malam yang mendung dengan sedikit petir jauh dibalik awan. Ini akhir cintanya. Selesai karena salahnya sendiri. Hancur karena tangannya sendiri. Rusak karena langkahnya sendiri. Berlutut pun percuma. Tak akan membuat Dyta kembali padanya. Hanya akan membuat ia lagi-lagi dipikuli oleh Dante.
Rintik kecil mulai jatuh satu per satu. Mengguyur wajahnya yang berantakan penuh luka lebam. Kian deras, kian membuatnya kesakitan. Air matanya melebur dengan tetesan hujan. Tubuhnya basah dan penampilannya acak-acakan. Petir berkejaran sedang hatinya berat untuk menelan fakta yang menyakitkan. Bahwa perpisahan tidak pernah bisa jadi sebuah perayaan.
Maaf updatenya ngaret banget :((((
Raka udah jomblo tuh, siapa mau daftar jadi pacarnya silahkan baris! Wkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020