#Lembar37: Minggu Indah Dari Mana?

191 32 22
                                    

"Ibun pergi dulu, ya? Jangan ke mana-mana, jagain Kakak," pesan Ibun sembari mengusak rambut Gibran yang sedang bermain game online dari ponselnya.

"Iyaa, Hati-hati, Bun," balas pemuda itu tanpa menoleh.

Hari ini weekend, apotek Ibun tutup dan beliau ada janji bertemu dengan Dokter Rana. Masih banyak hal yang ingin Ibun tau. Termasuk apa ada cara lain selain biopsi? Wanita itu masih diambang ragu untuk melanjutkan pengobatan Jehan. Ia hanya tidak bisa membayangkan kemungkinan macam apa yang akan Jehan hadapi saat proses biopsi berlangsung. Ditambah lagi, Jehan harus memangkas seluruh rambutnya jika tindakan itu dilakukan.

Gibran melanjutkan permainannya. Ia masih fokus menembaki musuh yang ada sembari terus memasang telinga untuk berjaga-jaga siapa tau Kakaknya memanggil. Hubungan Jehan dan Gibran sedikit menjauh. Si adik yang takut bicara sementara si Kakak yang jadi sangat membatasi dirinya. Ia hanya berdiam diri di kamar, atau hanya ikut Ibun bekerja. Gadis itu bahkan belum bertemu Raka. Bukannya tak dijenguk, tapi memang si jelita saja yang memutus tali antara mereka berdua. Jelas itu membuat pertanyaan besar di kepala Raka. Kenapa Jehan jadi sangat jauh bahkan enggan bertemu dengannya. Namun menurut Ibun, Jehan hanya sedang butuh waktu sendiri.

Nyatanya, gadis itu tidak mau terluka lebih dalam lagi. Kenyataan bahwa ia akan meninggalkan Raka dan pulang pada pelukan bumi membuat hatinya nyeri. Bahwa cintanya harus usai tanpa sempat ia tuai. Hubungan dengan si sukma pun akan segera usai meski jiwa tak pernah mau untuk berdamai. Sungguh yang ia mau hanya konklusi yang manusiawi. Namun sampai hari ini, tak satu pun ada yang berarti.

Di akhir selebrasi kemenangannya, bunyi nyaring menginterupsi Gibran. Pemuda itu lantas berlari naik ke kamar Jehan karena suara itu berasal dari sana. Saat dibuka, terlihat Jehan jatuh dan barang-barang yang ada di atas meja belajarnya berserakan di lantai.

"Kak!" Gibran langsung mendekati Kakaknya dan membantu gadis itu bediri.

Namun Jehan kesulitan karena kepalanya terasa sangat sakit.

"Gibran..." panggilnya nyaris tak terdengar.

"Kaki gue nggak bisa berdiri..." katanya menangis.

Tadi ia sedang duduk dan membaca novel. Namun saat bangkit hendak mengambil minum yang ada di nakas sebelah kasur, mendadak kakinya lemas dan membuatnya terjatuh.

"Ayo, gue bantu," katanya kemudian memapah Jehan dengan sekuat tenaga.

"Gibran... gue nggak bisa jalan..." sambung gadis itu kini mengeluarkan air matanya. Disaat sudah berdiri dengan bantuan Gibran, kaki Jehan jadi lemas dan tak bisa digerakkan. Kepalanya berputar dan dadanya jadi sesak.

Dengan cekatan Gibran menggendong Kakaknya. Ia membawa gadis itu ke ranjang dan membaringkannya di sana. Keringat dingin mengalir di pelipis perempuan berambut pendek itu. Tangannya masih sibuk memijat pelipis demi meredakan sakit di kepalanya. Tidak tinggal diam, pemuda itu membuka laci nakas dan mencari obat-obatan Jehan. Setelah menemukan obat yang dicari, Gibran turun ke bawah untuk mengisi ulang air di gelas Jehan. Namun saat kembali, Kakaknya diam. Bukan karena sakitnya telah hilang, tapi ia pingsan. Gelas itu pun jatuh tepat di depan pintu.

"Kak!!" teriaknya kembali histeris.

Pemuda itu memanggili Kakaknya sambil menepuk lembut pipi Jehan. Ia meraih ponsel si kakak yang ada di sebelah bantal, menekan tombol satu untuk menghubungi langsung nomor Ibun.

"Bun! Kak Jeje pingsan!" serunya saat panggilan itu diangkat oleh nomor yang ia hubungi.

"Gibran? Jeje kenapa?" suara berat itu membuatnya kebingungan. Nama yang tertera bukanlah Ibun, melainkan nama sahabat di sebelah rumah. Ternyata Ibun bukan si nomor satu di panggilan Jehan.

"Gapapa, Mas. Salah sambung, sorry..." balas Gibran buru-buru mematikan panggilan itu. Hampir ia membocorkan rahasia Jehan.

Dengan sedikit usaha, Gibran memilih untuk mengetik nama Ibun di daftar kontak Jehan. Setelah menemukannya, ia langsung menghubungi Ibun.

"Bun... Kak Jeje pingsan..." isak tangisnya tak lagi sanggup ia tahan. Rasa panik, sedih, khawatir, juga marahnya jadi satu. Membuat air lukanya jatuh begitu saja saat mendengar suara Ibun.

Wanita paruh baya itupun mengiyakan dengan tak lupa memberi pesan apa-apa saja yang bisa Gibran lakukan sembari menunggu Ibun tiba. Setelah mengangguk, panggilan terputus dan Gibran menatap Kakaknya kasihan.

"Jangan pergi, kak..."

•  °  •

Setelah mendengar kepanikan Gibran, Raka meraih kunci motornya dan bangkit hendak pergi. Namun suara gadis yang tadi pamit ke kemar mandi terdengar kembali.

"Kamu mau ke mana?" tanya Dyta duduk di kursinya.

"Jehan pingsan," setelah menjawab, Raka pergi begitu saja.

Dyta mematung di kursinya. Apa Raka akan meninggalkannya di sini sendiri? Tanpa mengantarnya pulang lebih dulu? Lalu dia pulang naik apa? Jalan kaki? Ayolah Raka, yang benar saja. Di hari Minggu seperti ini pun ia masih sibuk mengurus Jehana. Dyta pikir, ini akan jadi Minggu yang indah karena merupakan hari jadi mereka yang ke dua tahun. Namun apa, ini bahkan belum dimulai. Tapi Raka sudah pergi lebih dulu tanpa mengucapkan apa-apa untuknya.

Teriakkannya yang nyaring mengambil atensi seluruh penghuni kafe. Dyta menutup wajahnya dengan telapak tangan. Lama-lama ia muak dengan hubungan ini. Ia punya cinta, namun seperti tak dicinta. Seakan-akan hubungan ini hanya dijalani oleh satu orang saja. Sementara orang lainnya tak menganggap serius dan sibuk sendirian.

Kalau memang sejak awal Jehan yang ada dihatinya, kenapa Raka mengencaninya? Kenapa mereka berdua tidak menjalin hubungan asmara saja? Kenapa harus ia yang terlibat dalam peliknya permainan rasa mereka? Brengsek. Dua tahun waktu yang Dyta habiskan bersama orang yang bahkan bingung dengan hatinya sendiri. Menahan semua cemburu dan sakit hati yang tak pernah habis meski terus menautkan janji. Ia paham dengan kekhawatiran Raka pada Jehan yang mudah sakit. Namun jika dipikirkan lagi, bukannya ini sudah terlalu berlebihan? Jehan punya Ibu dan adik laki-laki. Tapi Raka bersikap seolah-olah gadis itu hidup sendiri.

Waktunya habis untuk Raka. Sedang Raka sibuk menghabiskan waktunya untuk Jehana.

Gadis itu meraih ponselnya. Mencari satu nama yang terlintas dalam kepala untuk menjemputnya. Makanan yang mereka pesan sudah dibayar Raka, namun satu suap pun tak ada yang tertelan. Hadiah anniversary itu kehilangan harga. Maka jatuhlah ia ditempat sampah lengkap dengan cintanya. Setelah panggilan itu tersambung, Dyta berjalan keluar dari kafe.

"Dan, tolong jemput gue."

🚨Bahaya bahaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🚨Bahaya bahaya

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang