#Lembar40: Terpatri Abadi Sebagai Bukti

205 31 21
                                    

"Keadaan Jehan memburuk, Nir. Keseimbangannya mulai terganggu. Kita harus secepatnya ambil tindakan," Ibun melempar tatapan pada Jehan. Gadis itu menunduk menatap kakinya yang tertutupi selimut. Sejam tiba di rumah sakit, gadis itu hanya diam dan menunduk. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Ibun menghela napas. Mungkin benar, Jehan harus segera ia obati. Kemungkinan buruk akan sering terjadi dan Nirmala tidak mau kalau di suatu pagi ketika putrinya bangun, ia sudah tak mengenali Ibunnya lagi.

Wanita itu mengangguk, menyetujui kelangsungan tindakan untuk penanganan Jehana. Dokter Rana bernapas lega. Beliau pikir, Nirmala akan terus keras kepala dan terus pada pendiriannya.

Ibun mendekati ranjang Jehan. Menatap sulung cantiknya yang tak bersuara sejak tadi. Ia menangkup rupa Jehana sembari menyisipkan rambutnya ke belakang telinga. Air mata Ibun tergenang, menatap bangga pada anak gadisnya karena telah kuat dalam bertahan.

"Kita biopsi, ya?" ujar Ibun meminta persetujuan.

Gadis itu menunduk lagi, kemudian mengangguk. Sekuat tenaga ia tahan air matanya agar tak jatuh, namun tetap berakhir percuma. Nyatanya, pipi itu basah juga.

"Jeje...mau sekolah..." balasnya agak kesulitan. Lehernya tercekat karena sekuat tenaga menahan isak serta perih pada ulu hatinya.

"Iya...Jeje boleh sekolah besok. Pulangnya kita langsung ke rumah sakit, ya?" meski sulit, perkataan itu bisa juga Ibun selesaikan.

Jehan mengangguk, Ibun langsung memeluk putrinya demi memberi kekuatan. Dari semua alur perjalanan hidup yang telah ia alami, ini yang tersulit. Bahkan rasanya lebih sakit daripada bunyi palu pengadilan kala itu. Melihat putrinya yang tidak pernah mengeluh atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan saat hidupnya dinyatakan tidak bisa bertahan lama. Gadis kecil yang berusaha untuk terus bersinar meski cahayanya redup.

Kalau boleh ia egois, maka ia akan menuntut semesta untuk berhenti bersikap bengis. Namun kenyataannya, meski sudah anarkis, semesta tetap saja apatis.

• ° •

Jehan akhirnya pulang ke rumah. Dengan perjanjian esok sekolah lalu pulangnya akan langsung dijemput Ibun. Gadis itu langsung naik ke kamar. Keadaannya membaik setelah menerima perawatan intensif dari Dokter Rana. Ia sudah bisa berdiri dan berjalan tanpa perlu bantuan orang lain. Gadis itu duduk di ranjang.
Menatap setiap sisi kamarnya yang rapi meski ia tinggal semalaman. Matanya berhenti pada rak buku-bukunya. Di sana tersusun rapi seluruh buku yang telah Jehan baca. Sebagian lagi ada di kamar Gibran. Yang ada di sini hanya bukunya yang sudah lama.

Gadis itu mendekati raknya. Mengambil salah satu buku yang tepat ada depan mata. Laskar Pelangi. Novel yang sangat populer dimasanya. Buku tebal berisi 529 halaman itu sempat ia habiskan dalam waktu lima hari. Tapi setelah itu ia mengeluh sakit kepala. Lalu di bawahnya ada Sabtu Bersama Bapak. Buku yang tidak pernah bisa ia selesaikan. Ia hanya membaca separuhnya, lalu ia tutup dan simpan di rak. Lalu di paling atas, ada Laut bercerita. Novel yang baru-baru ini ia baca karena rekomendasi dari reviewer favoritnya.

Jehana menghela napas. Banyak cerita telah ia baca. Banyak ending telah terlewat. Namun kali ini, cerita hidupnya lah yang akan segera rampung. Jika perjalanannya ditulis dalam sebuah buku, maka si penulis akan dikutuk habis-habisan oleh pembacanya karena membuat cerita yang mengenaskan. Namun anehnya, itu akan jadi buku favorit Jehana.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi si jelita yang menatap buku-buku yang menyimpan seluruh memori perjalanannya.

"Lagi apa?" Gibran muncul dari balik pintu dengan tak lupa menutup kembali pintu kamar Kakaknya.

"Nggak apa-apa," balas Jehan menyusul adiknya yang duduk di sisi ranjang.

Keduanya sama-sama menatap rak besar itu. Seakan ada gambaran kisah hidup seseorang tercatat di sana. Mulai buku pertama, hingga buku terakhir yang ada di paling bawah. Semua buku menyimpan masa dan kenangannya. Buku pertama Jehan, buku yang Jehan habiskan dalam semalam, buku yang jadi temannya begadang, buku yang terkena tumpahan kopi Ibun, buku yang terciprat minyak saat ia belajar memasak, buku yang dibasahi air mata, juga buku yang dijadikan hadiah ulang tahun di setiap pertambahan usia. Jehan jelas tumbuh bersama buku buku itu. Tumpukan kertas berjilid itu jadi saksi petualangannya selama bertahun-tahun.

"Kayaknya gue mau donasiin semua buku-buku itu," celetuknya membuat Gibran menoleh.

"Kenapa?" heran adiknya karena Jehan jelas sangat menyayangi semua bukunya meski hanya sekali baca.

"Ya, percuma juga dia di sini. Cuma jadi pajangan. Bukannya bagus kalau dia dibaca banyak orang?" balas gadis itu ikut menoleh pada Gibran.

Pemuda itu tersenyum kemudian mengangguk. Meski sejujurnya ia mendadak tak rela jika separuh dari diri Jehana meninggalkan rumah ini, tapi memang lebih baik kalau dilepaskan daripada harus disimpan kelamaan.

Jehan bangkit dan mendekat kembali pada buku-buku itu. Meraih satu buku yang masih sangat bagus namun kertasnya sudah terdapat banyak bercak kecokelatan.

"Gue simpan yang ini. Sisanya termasuk yang ada di kamar lo, donasiin aja," katanya kemudian kembali duduk di sebelah Gibran.

Laki-laki itu melirik buku yang ada dalam pegangan Kakaknya. Buku yang tidak familiar di mata Gibran bahkan ia tak pernah tau kalau Jehana punya.

"Sabtu Bersama Bapak," gumamnya membaca judul cerita.

"Ini buku udah lumayan lama. Baru setengah tapi gue udah nggak sanggup baca sampai selesai," katanya menjelaskan.

"Jadi mau lo sambung baca?" tanya Gibran memastikan.

Jehan mengangguk. "Kalau bisa."

Gibran menatap Kakaknya dengan perasaan iba. Ia pikir Jehan akan bisa menyelesaikan seluruh alur cerita apapun genrenya. Namun ternyata, ada juga satu buku yang sulit untuk ia selesaikan.

"Lo nggak mau ketemu Ayah?" satu pertanyaan yang membuat Jehan terdiam. Ia yang tadinya sedang menatap sampul buku itu mendadak menatap lurus ke depan.

"Ayah di sini. Dia khawatir sama keadaan lo. Tapi Ayah nggak mau ketemu selain dari persetujuan lo," sambung Gibran.

"Bilang Ayah, pulang aja. Takutnya Tante Kanya malah marah sama kita," balas Jehan bangkit dan berpindah ke meja belajar.

Gibran ikut menyusul Kakaknya. Ia memeluk Jehan dari belakang sembari mencium pipinya. "It's okay kak, Ayah sekalian ngurus kerjaan di sini."

"Gue nggak mau ketemu Ayah. Jadi jangan maksa," finalnya kemudian membuka buku sekolah. Membaca catatannya karena Acha bilang besok ada ulangan.

"Iya deh," balas Gibran sembari mengacak rambut kakaknya. "Gue di bawah ya, panggil aja kalau butuh apa-apa. Jangan turun!"

Jehan tak membalas, ia diam dalam konsentrasinya. Namun bukan pada buku, melainkan pada Ayah. Entah sampai kapan ia akan seperti ini. Hidupnya akan segera usai namun damai belum juga bisa ia dekap. Kalau nanti ia mati dalam keadaan benci, pasti tubuhnya tak akan diterima bumi. Tapi dalam hatinya masih belum ikhlas. Memori itu terus menjadi hantu yang memaksanya sedih berlarut-larut. Menyekak batinnya yang sudah carut marut. Takut. Berlanjut. Sampai jadi bertaut.

Yok bisa yok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yok bisa yok...
Kita pasti bisa bertahan sampai cerita ini rampung!

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang