Raka menghentikan kendaraannya di depan garasi. Tanpa memasukkannya terlebih dahulu, pemuda itu hanya menggantung helmnya pada kaca spion. Ia berjalan mendekati pintu pada dinding pembatas. Sengaja tak ia masukkan dulu kendaraannya karena ia lihat Jehana sedang menyapu halaman. Entah apa yang terjadi tapi seminggu ini Jehan terlihat sangat lesu. Bahkan ia seperti sedang menghindari Raka. Itu sangat menggangu pikiran. Mereka tidak bertengkar, tidak terlibat suatu masalah, tidak baku hantam. Tapi kenapa gadis ini mendadak menjauhinya?
"Je," panggil Raka saat Jehana mendadak meletakkan sapunya saat Raka membuka pintu.
Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun pada sahabatnya. Jelas! Jehana memang sengaja menghindarinya.
"Jeje," panggil Raka lagi mengikuti sahabatnya ke dapur.
"Je, lo menghindar, ya?" tanya Raka sembari memperhatikan gerak-gerik Jehan.
"Nggak," jawab gadis itu menuang segelas air ke dalam gelas.
"Terus ini apa?"
"Minum."
"Je...yang bener aja dong. Gue salah apa sih?"
Jehana diam karena sedang minum. Sedangkan Raka makin ketar-ketir sendiri. Gadis itu bahkan tidak melihat ke arahnya sama sakali.
"Sumpah, lo maki-maki gue aja deh. Gapapa. Asal jangan menjauh, menghindar, apalagi diemin gue," sambung Raka menyusul Jehana yang berjalan meninggalkan dapur.
"Lo kenapa sih?" masih tak mendapat jawaban dari empunya, ia mengekori Jehana di belakang.
Saat Jehan mengambil kembali sapunya, Raka pun masih berdiri di belakang dengan pertanyaan yang berhubungan tentang 'apa yang terjadi pada Jehan'. Ya, mungkin itu terlalu ketara. Bahkan bagi manusia paling tidak peka sedunia sekelas Raka bisa sadar bahwa ia sengaja menjauh. Ini masih ada hubungannya dengan mimpi itu dan perkataan Dante. Alasan lainnya ia memang sengaja menjaga jarak agar Dyta tak lagi terlalu cemburu padamya. Bukannya Jehan tak tau, kalau Dyta kerap kali cemburu dan mungkin membenci interaksi antara ia dan Raka. Itu sebabnya, ia memberi ruang pada sahabatnya agar tak terlalu menempel. Agar tak ada lagi salah paham.
"Ntar gue deket-deket pacar lo marah," jawabnya lanjut menyapu tanpa menatap Raka.
"Nggak usah bohong lo, gue tau lo tuh marah sama gue. Salah gue apa sih, Je? Kasih tau dong," bujuk si pemuda masih berusaha.
"Nggak usah rewel deh, udah sore banget nih, ntar kerjaan gue nggak kelar!"
"Gue bantuin. Tapi habis itu jangan diemin gue lagi," manusia gigih itu mengambil sapu lain untuk membantu Jehana menyapu halaman.
Sulung Ibun itu geleng kepala, apa yang harus Jehan lakukan setelah ini? Kembali bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa? Jika saja bisa, mungkin Jehan dan Dante tidak akan berakhir seperti sekarang. Mungkin semua masalah dalam kepala Jehan bisa selesai dengan singkat. Namun ia adalah seorang perasa. Hatinya lebih mendominasi dalam bertindak. Jadi kalaupun ia harus bersikap biasa saja, mungkin ia hanya akan mengurangi interaksi dengan Raka.
"Je, kalau ada apa-apa, cerita aja sama gue. Gue pasti dengerin. Kalau pun lo butuh gue, panggil aja, gue bakal datang," ujar Raka membuat Jehan berbalik. Pemuda yang sedang memunggunginya itu kembali membuat jantungnya berdebar. Padahal baru saja ia bertekad untuk melupakan pemuda itu, namun perjuangan itu nampaknya masih sangat panjang.
"Oh iya, Je, gimana lo sama Pier?" tanya Raka di sela-sela menyapu.
Jehan mengangkat bahu acuh, "Emang mau gimana?"
"Pacaran? Ya, gue sih nggak bisa maksa lo buat buka hati setelah disakiti mantan. Tapi lo bisa coba pelan-pelan dengan coba welcome ke dia."
Jehan tak menjawab. Malas dia kalau Raka sudah ikut campur dengan hatinya. Seolah paling tau, padahal pengetahuannya tentang itu sangat jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020