Pelajaran kembali dilanjut setelah bel istirahat berakhir. Siswa kelas 11 IPA satu masuk dan duduk di kursi masing-masing setelah Pak David menginjakkan kaki di dalam kelas. Ada tumpukan kertas yang mereka semua yakini adalah lembar ulangan minggu lalu yang sudah diperiksa. Sebagian ketakutan, sebagian pula merasa tenang karena yakin akan mendapat hasil yang memuaskan. Termasuk Jehan.
"Jadi, ini hasil ulangan kalian. Seperti biasa, yang namanya Bapak panggil langsung maju ke depan," ujar Pak David membuat seluruh muridnya ketar-ketir.
"Reza, tingkatkan lagi, ya."
"Senja, good job seperti biasa."
"Dante, hmmm lumayan."
"Cakra, come on boy!"
"Mulan, sedikit lagi."
"Fasha, kamu nyontek Jehana lagi ya?"
"Dih? Tau aja Bapak ehehehe."
"Jehana. Kamu gapapa, 'kan?"
"Gapapa, pak," jawab Jehan mengambil kertas ulangannya.
85. Nilainya menurun. Entah karena apa, padahal soal kemarin tak terasa sulit baginya. Apa ia kurang fokus mengerjakan soal? Atau dia ada salah tulis? Ia kira nilainya akan sempurna seperti sebelum-sebelumnya. Namun ternyata ia gagal mempertahankan hal itu.
"Oke, semua sudah Bapak bagikan. Gimana? Puas sama hasil ulangan kalian?" tanya Pak David berdiri setelah membagikan semua kertas ulangan muridnya.
"Puas!!" jawab seluruh kelas nyaring.
"Cakra kamu puas cuma dapet 30?"
"Syukuri apa adanya, Pak. Kita hanyalah manusia," jawabnya dengan lirik lagu hingga mendapat kekehan dari teman sekelas.
"Oke, kita mulai pelajaran hari ini!"
seluruh siswa mulai membuka buku dan mempersiapkan alat tulis. Kecuali Jehan. Ia masih menatap kertas ulangannya tak percaya. Masih sedikit kaget dengan hasil yang ia terima. Pun mendadak kepalanya terasa sakit. Sakit yang sama seperti yang ia alami belakangan ini. Bahkan terasa sangat nyata bukan delusi yang ia ciptakan sendiri. Sakit itu makin menjadi, diiringi telinganya yang mendadak berdenging dan penglihatannya yang buram.
"Je, lo gapapa?" tanya Acha menyadari gelagat Jehan yang aneh. Sontak itu mencuri atensi seluruh kelas termasuk Pak David.
Jehan tak menjawab, ia memijat pelipisnya karena merasa tak kunjung merasa baikan. Dante yang di belakang langsung mendekat untuk memastikan apa Jehan kembali pada gejala sindromnya. Tepat setelah pemuda itu berdiri di sebelah dia, kesadaran Jehan hilang sepenuhnya. Dengan sigap, Dante langsung menahan tubuh gadis itu agar tak terjatuh ke lantai.
• ° •
Ibun berlari di Koridor dengan sedikit terburu-buru setelah mendapat kabar bahwa anak sulungnya jatuh pingsan dengan mendadak. Dan yang lebih membuatnya panik, sampai sekarang Jehan belum membuka mata.
"Bun...Kak Jeje belum bangun," panggil Gibran dengan wajahnya yang basah karena menangisi Kakaknya yang sejak tadi tak membuka mata.
"Iyaa, kita bawa Kakak ke rumah sakit."
• ° •
Sampai di rumah sakit, gadis sulung Ibun itu langsung dibawa masuk ke UGD. Sedang Ibun dan Gibran menunggu di luar. Tadinya Raka ingin ikut, namun ia tidak mendapat izin dari wali kelasnya. Wanita paruh baya itu mondar-mandir di depan pintu UGD. Harap-harap cemas sembari merapal doa semoga anak gadisnya baik-baik saja. Jehan tak pernah pingsan. Kecuali dalam pengaruh sindromnya. Dalam artian dia tidak pernah pingsan dalam waktu yang lama. Jika itu sindromnya, maka 15 menit kemudian matanya terbuka. Tapi kali ini, lebih dari setengah jam gadis itu tak kunjung sadar.
Seorang Dokter keluar. Dokter Rana namanya. Beliau adalah teman Ibun sewaktu SMA. Beliau pulalah yang selama ini mengobati Jehan dengan memberi 'resep obat' yang mana itu hanya sebuah vitamin dan sejenisnya. Karena bila diperiksa kembali pun, Jehan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
"Jehan masih belum sadar, tapi keadaannya baik seperti biasa. Mungkin kita bisa nunggu dia siuman supaya tau penjelasannya seperti apa. Jadi sekarang, kita pindahkan Jehan ke ruangannya," jelas Dokter Rana setelah memeriksa keadaan Jehan. Beliau juga mengusap bahu Ibun agar wanita itu lebih tegar.
Seperginya Dokter Rana, Ibun mendekati Gibran dan memeluk anak bungsunya.
"Jadi Kakak kenapa?" tanya laki-laki itu.
"Kakak nggak apa-apa. Mungkin dia masih belum mau buka mata," Jawab Ibun sembari merapikan anak rambut Gibran yang berantakan.
Pemuda itu menghela napasnya. Jehan benar-benar bisa membuat satu sekolah panik karenanya. Tapi kali ini apa yang membuat gadis itu pingsan secara tiba-tiba?
• ° •
Di kamar yang hening, ada Ibun juga Gibran yang setia menunggu anggota keluarga mereka bangun. Ini sudah hampir satu jam dari waktu Jehan tak sadarkan diri di kelas, namun ia masih belum membuka matanya. Gibran yang masih memakai seragam sekolah mendesah panjang. Berapa lama lagi ia harus menunggu? Kakaknya sungguh mampu membuat ia khawatir setengah mati. Kalau pun baik-baik saja, setidaknya jangan pingsan terlalu lama.
"Dek, kamu pulang dulu ganti baju. Nanti ke sini lagi sambil bawa beberapa barang Kakak," ujar Ibun yang menyadari kegelisahan bungsunya.
Pasrah, ia mengangguk kemudian bangkit. Pemuda itu menoleh sebentar pada Jehan, sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Seperginya Gibran, Ibun mendekat ke ranjang Jehan. Mengusap surai anaknya tanda sayang. Mendadak kepalanya berkelana, mengingat saat pertama kali Jehan dibawa ke rumah sakit karena mendadak pingsan ditengah malam. Kepalanya pun sedikit berdarah. Dan sejak itu, ia jadi sering dibawa ke sini.
Perlahan, kelopak mata Jehan bergerak bersamaan dengan jemarinnya yang ada dalam genggaman Ibun. Wanita paruh baya itu langsung mengambil atensi anaknya. Sedang Jehan yang masih merasa sakit di bagian belakang kepalanya hanya meringis sambil berusaha untuk bangun.
"Bun, kepala Jeje sakit," katanya mengadu pada Ibun yang sibuk menekan bel yang ada di sisi ranjang Jehan.
"Tunggu sebentar, ya. Tante Rana bakal ke sini."
Tepat seperti dugaan Ibun, Doker Rana masuk dengan sedikit terburu-buru. Beliau langsung memeriksa keadaan Jehan mulai dari mata bahkan belakang kepala.
"Apa yang kamu rasain, Je?" tanya beliau memastikan rasa sakit Jehan nyata atau hanya tipuan kepalanya.
"Di sini, sekarang jadi lebih sering sakit," Gadis itu menunjuk belakang kepalanya tepat pada luka benturan bertahun-tahun yang lalu. Saat mengecek luka itu, memang tak ada bukti langsung yang dapat menjelaskan. Namun Dokter Rana berspekulasi mungkin ada masalah dari dalam otak Jehan.
"Je, kamu mau kita lakukan pemeriksaan MRI?"
Jeje kenapa?😣
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020