#Lembar43: Banyak Amin Yang Dilangitkan

199 31 27
                                    

Putaran terakhir sebelum pintu benar-benar terkunci. Dengan ransel yang berisikan barang Kakaknya yang tertinggal, Gibran meninggalkan rumah yang terasa sepi karena dua perempuan kesayangannya sudah di rumah sakit sejak kemarin. Bahkan Jehan sudah mulai di rawat inap. Ibun pun di sana menemani Kakaknya. Sementara ia tidur di rumah sendirian untuk yang kesekian kalinya.

Pemuda itu duduk di atas motornya sembari memakai helm. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan membersihkan rumah. Lalu setelahnya ia mandi dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Saat hendak menyalakan mesin kendaraaan, suara Raka menginterupsi. Kepala pemuda itu pun nongol dari balik tembok yang menjadi batas rumah mereka.

"Loh, nggak sekolah lo?" tanya Raka keheranan. Masalahnya, Raka sudah rapi dengan seragam sekolah lengkap, tapi Gibran rapi dengan celana jeans, kaus hitam dan jaketnya.

"Nggak," jawab pemuda itu kemudian menyalakan mesin vespa tua itu.

"Kenapa? Jeje sama Ibun mana? Sepi banget ini rumah," sambung Raka terus nyerocos.

Gibran diam sejenak dan berpikir. Kebohongan apa yang harus ia katakan? Gibran tidak mungkin bilang kalau Jehan ada di rumah sakit karena sedang operasi. Bisa segila apa Raka kalau mengetahuinya.

"Ke...rumah Eyang. Mereka nginap di sana. Nih, gue mau nyusul," balasnya agak tergugu.

"Ohh...ya udah, titip salam sama Eyang. Bilang, Raka kangen, gitu," balasnya percaya.

"Hmmm..." Gibran lantas pergi dengan tak lupa menutup kembali pagar rumahnya agar aman. Kemudian Lexi, si vespa tua itu terus melaju menuju pemberhentian pertama. Tidak bohong memang, Gibran ingin mampir ke rumah Eyang dulu sebelum ke rumah sakit. Ibun berpesan untuk melihat keadaan Eyang karena kemarin Tante Gita mengabari kalau beliau sakit.

Meski dalam hati, ia tidak tega membohongi Raka. Bagaimana pun, pemuda itu harus tau. Tapi kalau ia beri tau tentang keadaaan Jehana, maka Raka akan risau setengah mati. Ia tidak akan mau ke mana-mana, melainkan terus di samping sahabatnya. Bahkan bisa saja laki-laki itu meninggalkan semua orang hanya untuk menemani Jehan.

• ° •

Di bangsal VIP. Ruangan yang selalu jadi tempat Jehana menginap di rumah sakit. Sepasang Ibu dan anak itu saling tatap. Si jelita duduk di atas ranjang sedang ibunya duduk di atas kursi menghadapnya. Kedua tangan mereka menyatu. Saling menggenggam harap yang tersisa sebelum akhirnya dilangitkan. Setiap semoga mengandung doa, setiap kata terselip amin-nya, setiap helaan napas terangkai pasrah.

Ibun menatap rona coklat tua milik anaknya. Gadis itu nampak lebih pucat dari biasanya. Tangan Ibun mengusap pipi yang kian hari kian tirus itu. Air mata yang sejak tadi tergenang jatuh juga. Hari ini tiba, mungkin sudah seharusnya ia lakukan sejak lama. Namun karena kelalaiannya, pengobatan itu jadi terlambat.

"Ayo, Jehana," celetuk Dokter Rana bersama dengan seorang suster yang membawa kursi roda.

Dua kepala itu menoleh. Ibun mengangguk kemudian membantu Jehan turun dari ranjangnya. Dengan perlahan, gadis itu duduk dengan nyaman di kursi roda. Dokter Rana, Suster, dan Ibun yang menyusul di belakang berjalan meninggalkan kamar Jehan menuju ruang operasi.

Tepat sebelum gadis itu masuk, ia menarik tangan Ibun. Keduanya kembali bertukar pandang. Tak ada yang bicara namun sepasang netra menyampaikan seluruh pesannya. Bahwa ia berjanji akan kembali dengan keadaan yang lebih baik. Sedangkan Ibun memberi isyarat agar Jehan tak usah masuk ke dalam sana.

Dokter Rana menyentuh bahu Nirmala. Mencoba memberi kekuatan pada ibu dua anak itu agar proses operasi bisa berjalan tanpa kendala. Ibun pun melepas tangannya dan membiarkan Jehan masuk. Punggung mungil itu pun akhirnya menghilang di balik pintu.

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang