#Lembar41: Sesingkat Durasi Senja

164 25 29
                                    

"Ya, udah. Masuk sana, nanti istirahat gue ke sini lagi," pesan Gibran sebelum meninggalkan Kakaknya di kelas.

Gadis itu mengangguk kemudian berjalan masuk. Namun sebuah teriakan nyaring mencuri atensi ia dan adiknya. "JEJE!!!" Gadis cantik dengan rambutnya yang dikepang dua itu berlari sembari merentangkan tangannya. Jehan yang mengenali siapa gadis itu tersenyum kemudian ikut merentangkan tangan menerima gadis itu masuk ke dalam pelukan. Sebuah tabrakan kecil yang mengakibatkan sepasang sahabat itu bertukar peluk di ambang pintu masuk.

"Gue kangen banget sama lo, Je... Lo nggak apa-apa, 'kan??" serbu Acha mengurai pelukannya.

Jehan terkekeh lagi kemudian membalas, "Gue oke, Cha..."

"Ya udah ayo masuk," ajak Acha yang disetujui oleh Jehana. Tidak lupa ia melambai pada Gibran yang geleng kepala melihat tingkah sahabat Kakaknya. Badannya kecil tapi suaranya nyaring.

Saat keduanya sudah duduk di meja dan kursi masing-masing, Acha menatap sahabatnya penuh demi mencari penjelasan. "Oke, sekarang explain. Lo kenapa?"

Namun bukannya menjawab, Jehan hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke papan tulis.

"Ih...jawab dong, Je..." bujuknya bersikeras.

"Gue nggak apa-apa, Acha... Gue cuma sakit biasa..." balasnya lagi membuat decak kesal itu keluar dari bibir dan ranum Acha.

"Ya udah, kalau lo nggak mau cerita. Tapi nanti gue nyontek, ya?" balasan itu lagi-lagi membuat si jelita terkekeh. Pandai saja gadis ini mencari kesempatan. Padahal nanti hanya ulangan biologi yang masih bisa dijawab dengan nalar. Bukan fisika atau matematika yang mengharuskannya berpikir keras.

Bel masuk berbunyi. Teman sekelas Jehana mulai masuk kelas dan mengisi kursi-kursi kosong itu. Bersamaan dengan Pak David yang memeluk seluruh buku-bukunya.

"Selamat pagi semua!"

Seisi kelas kompak menjawab. Membuat suasana pagi terkesan ceria dan semangat. Pak David melirik Jehan di kursinya. Beliau tersenyum dengan artian penuh. Semalam Ibun sudah menghubungi Pak David kalau Jehan akan bersekolah sehari sebelum biopsi.

"Ulangan hari ini bapak undur jadi minggu depan, hari ini kita main games aja, gimana?" usulan itu tentu saja membuat seisi kelas berteriak heboh. Sebagian murid yang tadinya sibuk menghapal catatan bernapas lega karena mereka punya waktu lebih lama untuk mempersiapkan segalanya.

Jehan menatap wali kelasnya sembari geleng kepala. Pasti itu karena dirinya. Pak David pasti sengaja mengundur ulangan karena tidak mau membuat ia berpikir sangat keras yang mungkin saja bisa membuat kepalanya sakit.

"Oke, jadi games-nya. Tebak-tebakan. Bapak mulai. Jauh di mata dekat di hati. Apakah itu?" Pak David memulai permainan.

"Saya dan dia, Pak," celetuk Berlian mengangkat tangannya.

"Yang LDR diem!" balas Acha setelah kekehan kecil.

"Jodoh saya," kini giliran Thania yang buka suara.

"Kayak punya jodoh aja," balas Awi di sudut ruangan.

"Sembarangan lo kalau ngomong!!" marah gadis itu.

"Ayo, gimana? Nyerah?"

"Nyerah deh," balas Diton.

"Jauh di mata dekat di hati. Usus!" sambung Pak David membuat siswanya terkikik. Bagaimana tidak, candaan bapak-bapak itu benar-benar masuk di akal mereka.

"Ada yang punya tebak-tebakan?" Pak David meminta suara anak-anaknya.

"Cakra, Pak!" tunjuk Acha pada bestienya.

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang