#Lembar44: Delirium

181 33 54
                                    

Helaan napas panjang keluar dari seorang gadis yang terduduk lesu di ranjangnya. Ia melirik si adik yang nampak tak terganggu dengan helaan napas itu. Ia-Jehana melipat tangannya di dada sembari terus menatap Gibran yang asyik sendiri dengan ponsel. Entah apa yang ia lihat di dalam sana sampai mengabaikan si Kakak yang mati gaya karena bosan. Senyum tipis Gibran membuat ia makin kesal. Sejak kapan Gibran bisa tersenyum setulus itu? Bahkan sangking cueknya, ia tidak pernah tersenyum untuk Kakaknya. Cuma mengomel tentang ini dan itu yang Jehan sudah tau.

"Lo lagi jatuh cinta, ya?" pertanyaan itu membuat senyum yang semula ada di rupa tampannya hilang seketika.

Pemuda itu berdehem sebentar kemudian mengunci layar ponselnya. "Sotoy," balasnya mengalihkan pandangan. Tak mau menatap mata Kakaknya yang mengintimidasi.

Jehan menumpu dagu, sebelumnya ia tidak pernah melihat Gibran salah tingkah seperti ini. Apa benar, adik laki-lakinya ini mulai menyukai seorang gadis?

"Namanya siapa?" tanya Jehan masih menatap Gibran.

"Ck! Sotoy banget sih?!"

"Lah? Gue cuma nanya??"

"Nggak ada!" sanggah Gibran kemudian bangkit dari duduknya mendekati jendela kamar Jehan yang tertutup. Ia menggeser kaca Jendela itu agar udara dari luar masuk.

"Panas banget dah, nggak ada angin masuk," katanya.

"Itu AC nyala masih lo bilang panas?" Jehan menunjuk pendingin yang tepat di atas kepala Gibran.

Kikuk, ia berdeham dan menutup kembali kaca jendela kamar Kakaknya.

Jehan berdecih. Gelagatnya sangat mudah untuk dibaca.

"Siapa sih namanya? Kelas berapa? Satu sekolah? Seumuran atau kakak kelas?"

"Dibilang, bukan!" sanggah nya masih keras kepala.

"Ya udah," balasnya mengangkat bahu. Mungkin Gibran masih belum mau untuk bercerita. Tapi percayalah, sebentar lagi pasti Jehan akan tau siapa perempuan yang telah mencuri hati adiknya.

"Ibun masih lama?" tanya Jehan lagi karena sejak beliau pamit untuk bertemu Ayah tadi, masih juga belum kembali.

Gibran mengangkat bahu, meraih ponselnya lagi dan mendapati satu notifikasi.

"Ambilin kertas sama pensil dong di rumah. Bosen banget di sini, gue pengen menggambar," sambung gadis itu membuat adiknya melirik.

"Iya, nanti kalau Ibun udah balik ke sini."

"Sekarang aja...gue bosannya sekarang..." bujuk gadis itu mendesak.

"Terus yang jagain lo siapa?"

"Gue gapapa, nggak perlu dijagain. Kan ada suster, ada Tante Rana juga. Udah buruan! Sekalian ambil novel gue di atas meja belajar."

Gibran menghela napas nya. Sejujurnya ia tak mau melakukan ini, tapi melihat Jehan memaksa seperti itu, apa boleh buat.

"Oke, tapi janji jangan ke mana-mana, ya? Di sini aja! Gue cuma sebentar," pesan Gibran sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar inap Kakaknya.

"Hati-hati!!" seru gadis itu karena Gibran sudah hilang di balik pintu.

Jehan terkikik, sengaja ia biarkan Gibran pergi. Karena ia ingin keluar dari kamar ini. Sejak selesai biopsi beberapa hari yang lalu, ia terus mendekam di kamar ini seharian. Tidak diperbolehkan keluar meski sejujurnya itu bukan lah larangan. Karena nyatanya, Jehan tidak merasa sakit, pun ia tidak di infus, bahkan ia bisa berjalan sendiri ke kamar mandi. Jadi, apa masalahnya kalau ia hanya keluar kamar atau sekedar duduk di taman?

Querencia✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang