Suara ketukan pintu dari luar kamar membuat pemiliknya menoleh. Panggilan lembut "Ibun?" membuat wanita paruh baya itu menyahut lembut.
"Kenapa, Kak?" tanya Ibun tanpa berdiri dari posisi duduknya.
Pintu kamar terbuka, memunculkan kepala seorang gadis manis dengan rambut pendeknya yang tergerai. "Ibun lagi apa?" tanya gadis itu kemudian masuk menghampiri Ibunnya.
"Lagi liat-liat barang lahiran Ibun," jawab beliau tersenyum antusias. Niatnya, wanita itu hanya ingin bernostalgia sebentar dengan barang-barang bersejarah itu.
"Oh ya? Ini waktu lahiran siapa?" tanya Jehan mulai melihat beberapa barang yang keluar dari peti penyimpanan.
"Punya kamu," jawab beliau membuat mata anak gadisnya berbinar.
"Beneran?" serunya antusias.
Ibun mengangguk, kemudian menunjukkan sebuah buku tipis yang warna kertasnya sedikit usang namun masih bisa dibaca. "Dulu dokter bilang, kamu itu anak keberuntungan."
"Karena dua kosong, kosong dua, dua kosong kosong dua?" tebak Jehan yang sudah dapat menebak sendiri.
"Bukan cuma itu, liat jamnya deh," balas Ibun kemudian menunjuk waktu yang tertulis di sana.
Jehan sedikit menganga, "Kok bisa?!" kagetnya.
"Ya, mana Ibun tau. Makanya dulu dokter sama suster bilang kamu anak keberuntungan," sambung beliau yang gemas sendiri melihat anaknya menganga tak percaya.
Bagaimana tidak, gadis yang lahir pada tanggal 20 Februari 2002 itu tidak menyangka bahwa jam ketika ia lahir juga begitu selaras dengan tanggalnya. Yakni, 20.02. Yang kalau ditulis bersambung menjadi 20.02.2002.20.02.
"Tapi, terlepas dari angka kamu yang unik, kamu memang anak Ibun yang paling baik, paling bisa bikin Ibun seneng, paling rajin kalau disuruh bantu-bantu," sambung Ibun sembari mendaratkan satu kecupan pada kening anak gadisnya.
Jehan tersenyum, ia kemudian memeluk Ibun dengan sayang. Memang tidak ada yang paling Jehan sayangi di bumi ini kecuali Ibunnya sendiri. Ibun adalah semestanya.
"Jeje!!" teriakan seseorang membuat pelukan itu terlepas saat mendengar suara yang akrab di telinga.
"Di kamar Ibun!" jawab gadis itu sedikit berteriak.
Mendengar jawaban yang diberikan Jehan, si tamu langsung menuju ruang yang sebenarnya tidak terlalu akrab di penglihatannya.
"Lagi ngapain?" tanya nya dari depan pintu.
"Nggak ada, Kenapa?" balas gadis itu sedikit judes."Main badminton yuk," ajaknya sembari mengangkat raket di tangan kanannya.
"Males ah," balas Jehan sok menolak. Padahal setiap diajak untuk melakukan olahraga yang satu itu, Jehan tidak pernah menolak.
"Ada Mas Estu lohh, yakin nggak mau?" tawa Raka membujuk.
Yaa, kalau Mahestu siapa sih yang bisa menolak.
"Tapi gue setim sama Mas Estu, ya?" balas Jehan memberi tawaran lain.
"Okey!" balas Raka dengan lapang dada. Walaupun sebenarnya berat karena kemampuan Estu bermain badminton lebih baik dari Raka, Jehan ataupun Gibran.
Jehan bangkit dari duduknya kemudian pamit pada Ibun. "Bun, Jeje main badminton di depan, ya?"
"Iyaa," balas beliau mengizinkan.
Gadis itu pun keluar dari kamar Ibun menyusul Raka.
"Gibran mana?" tanya Raka di sela-sela langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Hayran Kurgu(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020