"Dyta!" panggilan itu menghentikan langkah si jelita yang sudah hampir sampai di parkiran.
Pemuda itu berhenti tepat di depan dia dengan napasnya yang tak beraturan. Sadar akan siapa yang memanggilnya, membuat Dyta kesal. Lantas gadis itu pergi bahkan tanpa membuka suara sedikit pun.
"Dyt, tunggu sebentar," panggilnya menarik tangan gadis itu.
Semakin tak suka, Dyta menyentak tangannya agar terlepas dari genggaman Raka.
"Gue pikir kita udah selesai, Raka," katanya begitu dingin nyaris tak bisa Raka kenali.
"Iyaa, tapi aku cuma mau minta maaf. Waktu itu kamu buru-buru masuk rumah dan nggak ngasih aku kesempatan buat ngomong," katanya berhasil membuat Dyta mendengarkan. Meski gadis itu melihat dengan ogah-ogahan, namun Raka bersyukur Dyta masih berdiri di sini untuk mendengarkannya.
"Aku minta maaf, Dyta. Maaf kalau kamu selalu bingung bahkan cemburu. Maaf kalau kamu merasa sendiri walapun lagi sama aku. Maaf harus melibatkan kamu dirumitnya perasaan aku. Tapi aku bersumpah sedetik pun kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Kamu tetap jadi orang yang nggak akan pernah aku tinggalkan," katanya dengan pandangan memohon. Seakan sedang mencuri sedikit maaf dari Dyta yang tak acuh namun masih menyimak.
"Tapi prioritas kamu tetap untuk Jehan," timpal Dyta.
"Ya, i know it now. She's my first, but you're my only one. Everything that i need for no reasons. Aku nggak lagi merayu. Aku cuma minta sedikit maaf kalau pun itu ada. I'm sorry, Dyta," sorot mata memohon itu makin membuat Dyta iba. Ya, memang ia sangat sakit hati dengan Raka, namun pemuda itu terlalu banyak mengambil peran dalam hidupnya.
"No sorry for assholes," bukan Dyta. Dante datang begitu saja kemudian menarik tangan adiknya pergi menjauh dari Raka. Ia hendak menahan lagi namun Dante sudah terlalu jauh menarik gadis itu.
Raka menggeram pasrah. Membuat Dyta mau bicara dengannya itu sulit, semakin sulit kalau di sekeliling gadis itu masih ada Dante. Kembaran Dyta itu nampaknya menyimpan dendam yang besar hingga sedikit saja jarak yang tersisa antara merka, pasti ia akan langsung menjauhkan adiknya dari Raka.
Pemuda Baskara itu merogoh saku celananya. Surat milik Dante masih ada padanya. Belum ingin ia beri karena ia pun masih menyimpan benci. Tapi semakin ke sini, ia semakin kasihan pada Dante. Sebab laki-laki itu tak tahu apa-apa tentang gadis yang belum bisa ia lupa.
✧
Raka berjalan santai di koridor VIP. Tangannya yang memegang sekantung cheese burger lengkap dengan kentang dan nugget nya mengayun pelan menyamai irama langkah. Bibirnya pun tak henti mengulum senyum. Setelah janjinya yang ingkar beberapa minggu lalu, Raka akhirnya berhasil membawakan Jehan cheese burger kesukaannya.
"Permisi," ucap seseorng memotong langkahnya. Oknum yang diduga suster itu berlalu dengan terburu-buru entah mengejar apa. Diikuti suster-suster yang lain dan juga seorang Dokter.
Pemuda Baskara itu mengerut kening. Kenapa perawat dan Dokter terlihat kelabakan seperti itu? Apa ada pasien yang kritis?
Mendekati kamar inap Jehan, kerutan kembali mengisi keningnya. Pintu kamar gadis itu terbuka dan suster yang tadi memotong jalannya ada di sana. Raka terdiam. Tepat saat Dokter bergerak mengambil tindakan, terlihat sahabatnya yang sibuk dipasangi masker oksigen. Di dekatnya ada Ibun yang menangis dalam pelukan Gibran. Sedang ia hanya mematung di ambang pintu. Sahabatnya yang dulu sering merajuk, kini terlihat pilu dengan iringan alat bantu.
Ia tak sanggup mendekat. Ketika bunyi dari alat patient monitor itu terus mengisi riuh ruangan Jehan, Raka sudah tak mampu lagi bergerak. Seluruh tubuhnya mendadak ruai. Degup jantungnya berpacu dengan waktu. Tangisan Ibun menyatu dengan deru napas Jehan yang sesak. Ia hanya berharap doa sepertiga malamnya di jawab. Raka hanya ingin bersama Jehan sedikit lebih lama lagi. Ia ingin menebus semua salah yang barangkali pernah tanpa sengaja ia gurat.
'Kasihi ia lebih banyak lagi, Semesta. Lukanya belum sembuh. Damainya belum terengkuh. Bahagianya masih jauh. Kalau pun harus, biar ia bersihkan dulu bagian yang keruh'
✧
Jehan sudah tenang. Masker oksigennya masih terpasang karena ia masih kesulitan mengambil napas. Patient monitor nya terus berbunyi mengisi sunyi. Ibun menatap putrinya yang tenang dalam tidurnya. Saat tadi Gibran hendak pulang, mendadak Jehan sesak napas. Membuat wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh menekan bel yang ada di sisi ranjang. Padahal tadinya ia baik-baik saja membaca novelnya. Namun nampaknya, Jehan sudah tidak bisa ditinggal sendirian lagi.
Ibun tadi sudah bertemu Raka. Pemuda itu menangis sembari mendekap bungkus kertas mcd yang ia bawa. Tentu Ibun langsung membawanya masuk dalam pelukan. Bersamaan dengan Gibran yang ketakutan. Sekarang mereka berdua sedang shalat ashar di mushola. Meski sedikit syok, Ibun berharap Raka bisa segera menenangkan dirinya.
"Ibun..." suara lirih itu terdengar dari balik masker oksigen. Mata itu juga perlahan-lahan terbuka dengan kepala yang menoleh ke samping kanan.
"Iya? Ibun di sini," balas wanita itu sembari menyeka matanya yang basah.
"Ibun kenapa nangis?" tanya gadis itu meski suaranya nyaris tak terdengar.
"Nggak, sayang. Ibun nggak nangis," wanita itu tersenyum. Memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.
"Bun..." panggilnya lagi, kini sedikit lebih jelas.
"Iya? Ibun di sini, Nak," Ibun makin mendekat untuk memenuhi panggilan Jehan.
"Jeje capek," pernyataan itu, menorehkan luka yang lebih lebar lagi di jiwa Ibun. Keluhan yang biasanya bisa langsung ia pahami dan validasi, mendadak tak bisa ia reparasi. Dalam hati terus menyangkal karena Jehan tidak boleh menyerah secepat ini.
"Sedikit lagi sayang, kita bertahan sedikit lagi," timpal Ibun parau. Air matanya jatuh lagi dan tak bisa ia sembunyikan.
17 tahun itu terlalu singkat. Ia belum selesai melihat Jehan tumbuh. Banyak hal yang ingin Ibun lakukan lagi bersama Jehan. Banyak hal lagi yang ingin Ibun kenalkan untuk putrinya. Masih banyak perjalanan seru yang belum mereka coba. 17 tahun terlalu ringkas. Banyak lilin ulang tahun yang belum ia tiup. Banyak ukuran baju yang belum ia coba. Banyak doa yang belum terkabulkan. 17 tahun hanya sepintas. Bolehkah semoga panjang umur itu terkabul sekarang?
"Ibun..." panggilan kembali terdengar dari bibir pucatnya.
"Iya, Je?" balas Ibun sudah tak lagi bisa menutupi luka batinnya.
"Jeje mau ketemu Ayah."
Dikit lagi selesai gaisss🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020