Ia mengambil sebatang rokok lagi. Jam masih menunjukkan pukul tiga. Bel pulang belum berbunyi. Masih ada setengah jam lagi. Jadi ia memutuskan untuk menghabiskan sebatang rokok terakhir yang ia punya.
"Lo pulang ke mana?" tanya Cakra yang duduk di sebelahnya. Dengan rokok yang tersisa setengah, pemuda itu menatap temannya menunggu jawaban.
"Rumah," jawab Dante setelah menghembus habis asap dari dalam mulutnya.
Cakra mengangguk. Kemarin Dante tidak pulang dan berakhir menginap di rumahnya. Cakra tau bahwa hubungan Dante dan anggota keluarganya memang tak baik, jadi ia membiarkan saja pemuda itu berbuat sesukanya. Asal tidak merugikan orang lain saja.
"Jangan keseringan begini, Dan. Kalau ada masalah ya diomongin, bukan kabur-kaburan. Lo bukan lagi bocah puber yang harus dicariin biar pulang," sambung Cakra.
"Diem, jangan ceramah di sini," balasnya acuh. Ia adalah orang yang punya banyak masalah, tapi enggan diberi jalan keluar. Keras kepalanya melebihi batu.
"Gue ngasih tau yang bener, Dan. Gue emang nggak tau apa yang terjadi, tapi seenggaknya gue coba buat bantu," mendengar itu, Dante membuang rokoknya yang masih panjang. Menginjaknya hingga beberapa kali, sebelum akhirnya meraih jaket serta tas sekolahnya yang ada di atas meja.
"Gue cabut," bel pulang belum berbunyi, tapi karena enggan mendengar omongan Cakra, ia kabur melarikan diri. Yang ia mau hanya tempat tenang, bukan nasehat yang makin didengar makin menyebalkan.
Kendaraan roda dua itu berteriak nyaring. Pergi dengan kecepatan tinggi demi melepas emosi si pengemudi. Ia tidak kesal dengan perkataan Cakra, toh yang dia ucapkan itu benar. Ia bukan bocah SMP yang kalau ada masalah selalu kabur dari rumah. Dia juga tau kalau Cakra hanya membantu memberi solusi. Ia hanya tidak mau apa yang ia dengar selanjutnya malah membuat ia merasa bersalah. Ia benci perasaan itu. Kalau pun memang salah, jangan diberi tahu karena ia pun tahu. Ia hanya butuh waktu sendiri untuk merenung. Namun yang orang-orang tau selalu dia yang egois.
Cukup lama ia mengulur waktu dengan berkeliling, sampai akhirnya ia tiba juga di rumah. Dari luar nampak sepi, namun ia tau kalau Mama ada di rumah karena libur bekerja. Sementara Papa, ia pikir beliau akan pulang nanti malam.
Kakinya melangkah masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam atau sapa bahwa ia sudah pulang. Dilihatnya Papa duduk dengan serius di sofa dengan tatapan tajam. Dante terdiam, apa sekarang adalah hari kematiannya? Karena Papa nampak sangat ingin membunuh dia.
Pria paruh baya itu berdiri lalu berjalan mendekat. Dante masih diam di posisinya tak bergerak. Ia hanya memperhatikan Papa yang nampak murka entah sebab apa. Lalu dalam satu kali tarikan napas, bunyi nyaring menggema di seluruh ruang tamu. Tamparan yang jauh lebih menyakitkan dari yang sebelumnya ia dapatkan. Entah karena Papa mengerahkan seluruh tenaganya atau sabarnya yang sudah melewati batas.
"Memang tidak bisa dibina kamu, ya?" pertanyaan itu keluar setelah melayangkan tangan dengan keras.
"Nggak bisa ya, sehari aja nggak usah bikin Papa marah? Apa nggak bisa kamu sehari aja seperti Dyta, Dan??? Papa capek lihat kelakuan kamu yang nggak tentu arah begini! Keluyuran ke mana-mana sampai nggak pulang! Pasti kamu tadi juga nggak sekolah, 'kan?" sambung Papa dengan emosinya yang nyaris meluap.
"Dante sekolah," jawabnya.
"Sekolah? Dyta!!! Sini dulu!!"
"Bentar, Pa!" balasan dari Dyta membuat Dante menutup mata menyesal. Ia lupa kalau sekarang ia satu sekolah dengan Dyta. Tipuan seperti ini sudah tak bisa lagi jadi senjatanya.
"Kenapa?" tanya gadis itu saat tiba di ruang tamu.
"Tadi Dante sekolah?" tanya Papa tanpa basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia✔
Fanfiction(n) a place where one feels safe, a place from which one's strength of character is drawn. Kau rumah ternyaman. Tempat ku berpulang dan berbagi kerinduan. Tetaplah hangat sebagaimana kau memberi pelukan. ©sshyena, 2020