"Kamu duduk di depan! Cepat!" titahku memaksa. Kalau bisa mencengkram, sudah sejak tadi kutarik Haechan yang bergerak seperti siput
"Kenapa lagi sih?" Tangannya menepisku menjauh.
Aku menggeram gemas. "Jangan sampai Jeno duduk di depan!"
"Oh?" Haechan melongok ke arah mobil yang mesinnya tengah dipanaskan. "Seora Noona yang nyetir?"
"MAKANYA!" bentakku pusing. "Pleaseee, jangan sampai mereka duduk sebelahan."
"Maaf, tapi aku malas duduk di depan. Kalau-kalau ada kerumunan susah mau sembunyinya." Aku tak yakin Haechan benar-benar niat minta maaf.
Dengan enteng, dia masuk sedan melalui pintu bagian tengah, melupakanku yang kini melontarkan kata-kata mutiara.
Apalagi segera setelahnya, manik mataku menangkap Jeno berjalan kemari. Apakah kebetulan dia memilih mobil ini di antara dua mobil yang disediakan? Haha, aku ragu.
"Lee Haechan, tolong aku...! Pindah ke depan sekarang juga!" mohonku putus asa, turut masuk ke mobil dan berusaha mendistraksi Haechan dari ponsel.
"Nggak bisa," dengusnya. "Di depan ada kardus, dasar berisik."
"Apa maksud—eh?" Aku menggerakkan kepala. "Se-sejak kapan itu ada di kursi depan?"
"Makanya fokus," dia mencibir pelan.
Aku menghempaskan diri ke kursi. Astaga. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk membalas Haechan yang jelas-jelas menikmati kebodohanku. Lemas!
"Geser, Chan."
Pemilik nama yang melayang-layang di pikiranku semalaman akhirnya muncul. Berjengit lejar, aku berpindah dari kursi, lalu menempatkan diri duduk di celah antara kursi sopir dan kursi sampingnya. Dengan posisi duduk yang lebih tinggi, kini kepalaku berhadapan dengan Jeno.
Aih, Jeno-ya. Aku patah hati. Benar-benar patah hati meski tak yakin aku punya hati.
"Sudah semua?" Suara dari balik bahu kiriku adalah Manager Seora. Perempuan yang entah bagaimana bisa menolak seorang Lee Jeno. Ugh. Uegh!
"Sudah, Noona," Chenle yang menjawab. Dia menjadi member terakhir yang naik ke mobil ini; duduk di pinggir, tepat belakang kursi sopir.
Radio dini hari memutar lagu-lagu barat yang menyenangkan, mengiringi laju mobil yang diisi lima orang (ada seorang staf pria di jejeran kursi paling belakang) beserta satu hantu.
Ngomong-ngomong, ada hal lucu terjadi. Yaitu, kami dalam satu tempat, seluruhnya memandang hal yang berbeda-beda.
Dikala Chenle membuka mata pada langit-langit mobil dengan telinga tersumpal airpods, aku cuma menatap Jeno bulat-bulat. Sedangkan iris yang kutatap itu justru menembusku, melekat pada Manager Seora yang tak putus memerhatikan jalanan yang belum tersemai cahaya matahari.
Apakah aku mendeskripsikannya dengan cukup tragis? Terdengar seperti cinta segitiga yang semrawut bukan? Padahal Jeno sama sekali tidak mengetahui eksistensiku. Sekalipun aku berada persis di depannya.
"Sialan," desahku menyurukkan kepala ke pangkuan. Aku yakin aku bukan penganut sekte 'idol adalah milik fans', tapi aku mengerti sedikit perasaaan mereka.
Bukan marah, ini lebih ke patah.
Seraya mengacak-acak rambut dengan gaya heboh, aku mengangkat kepala putus asa.
Oya, soal ke arah mana pandangan Haechan belum diceritakan ya?
Padaku; sedari tadi retinanya hanya tertancap padaku.
Tapi sebentar! Itu bukan jenis tatapan mata hangat layaknya melihat kucing peliharaan atau seperti milik Jeno terhadap Manager Seora—JAUH! Bersepandang dengan Hacehan, aku langsung melupakan patah-patah apalah tadi.
"Menyebalkan," bisikku begitu saja. "Kau diam saja sudah sangat menyebalkan."
Kau le-bay.
Aku yang mengeja gerak bibir Haechan lalu tersenyum sinis. "Orang sepertimu apa pernah patah hati?" Sekali lagi, kata yang tak kumaksudkan meluncur tanpa rencana.
Haechan menaikkan bahunya. Dalam keadaan ini, dia memang tidak boleh berbicara padaku kalau tidak mau dianggap sinting.
"Manager Noona pernah patah hati?"
Tapi Haechan memang sinting. Berengsek! Apa sih maunya?!
"Kau... bertanya padaku?" Manager Seora bertanya balik. Tentu saja, suangat aneh jika di dalam mobil yang sebelumnya sunyi tiba-tiba ada yang bertanya pertanyaan yang sebegitu berbobotnya.
"Iya. Ada seseorang yang bertanya begitu padaku." Haechan tersenyum manis, sok-sokan tidak sadar pada raut angker Jeno.
"Random banget," kekeh Chenle. Gestur tubuhnya menegak, seperti ikut menantikan jawabannya.
"Menurutmu?" Manager Seora perlahan menginjak rem. Mobil tersendat di lampu merah, pas di belakang zebra cross. "Adakah manusia yang tidak pernah patah hati?"
"Artinya pernah?" Chenle mengernyit, mungkin kadung penasaran.
Aku yang bingung pada arah pandang mata Jeno, seketika menoleh ke belakang. Oh. Rupanya mereka saling melirik lewat kaca spion tengah. Entah siapa yang memulai, yang jelas itu bertahan beberapa detik.
"Tentu saja pernah. Aku manusia," utarnya sambil mengalihkan pandang, memutus kecemburuanku. "Itu hal biasa dan tidak papa," dia melanjut usai diam beberapa jenak. "Karena kurasa, aku juga sering menjadi sumber patah hati orang lain."
Hijau telah menyala, ban kembali berputar, tapi belum ada yang berani menyela. Perempuan ini, memiliki kemampuan membuat semua telinga mendadak cuma ingin mendengarkan.
Padahal tiada lagi yang Manager Seora ucap sampai lampu merah berikutnya. Sampai kami tiba di studio tujuan. Sampai Jeno sadar akan jemarinya yang berkeringat akibat terlalu lama mengepal.
Tidak ada lagi kata. Cuma ada sentimen yang tak tahu harus ditahan sampai kapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] See You When You Can See Me
Fanfiction"sedekat ini, tapi sejauh itu pula." aku terbangun di dorm orang-orang yang sangat kusayangi. tapi sebagai hantu yang hanya bisa diam-diam tersenyum memerhatikan dari jauh. ah, ceritaku tidak secreepy itu kok. malah mungkin-sedikit kelebihan gula...