🧷10

504 134 3
                                    

Jika laki-laki dan perempuan berduaan, maka yang ketiganya adalah setan. Itu benar, kawan-kawan. Aku sediri yang akan membuktikan itu.

"Noona menghindariku, 'kan?"

Aku mendengar napas yang berat dihela seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa.

"Dengar, biarpun jika kamu adalah member lain, aku tetap akan menolak."

"Bohong."

"Kenapa kaupikir begitu?"

Keduanya sama kuat dalam pengendalian diri. Aku bisa maklum untuk Jeno yang merupakan publik figur dimana menyembunyikan perasaan seringkali menjadi tuntutan. Namun, perempuan ini? Sinar matanya yang lurus membalas pandang menakutiku.

"Kamu… bisa tolong beristirahat saja?" Manager Seora tampak ogah memperpanjang. "Aku akan cepat-cepat menyelesaikan ini agar tidak berisik."

Betul. Lebih baik begitu. Ayo— "He-hei, kalian ngapain?!"

Pupil mata Jeno membesar tatkala wanita berambut coklat tua itu mengambil langkah mendekat. Kuharap, dia cepat-cepat mundur alih-alih bergeming menantang begitu.

Napasku yang tertahan baru bisa kembali normal saat Manager Seora ternyata tidak maju lebih jauh, melainkan menyelipkan diri, berbelok ke arah meja makan.

Sesuai perkataannya tadi, dia langsung meraup segala barang yang bertebaran. Dan dengan kelincahan yang lebih baik dari Jaemin, disimpan dan dipisahkannya satu-persatu di berbagai tempat. Mulai dari rak atas, rak bawah, di dekat kompor, lantas kembali lagi ke rak atas.

Kehadiran Jeno menjadi setara tidak kasat matanya denganku.  Akibatnya, dia jadi kurang tanggap ketika akhirnya disodori satu kotak kecil jus organik.

"Ini?" tanyanya ragu.

Dengan dagunya, manager itu menunjuk kulkas yang terhalang tinggi badan Jeno. "Itu yang terakhir. Bisa tolong simpan ke kulkas?"

Perempuan ini….

"Jahat sekali," dia mengeluh, sambil tak putus mengikuti punggung managernya yang telah pergi tanpa berpamitan.

Tapi Jeno tersenyum.

***

"YA, LEE HAEC—"

Kami sama-sama terperanjat. Sedetik, aku terjerembab jauh ke kasur, sementara Haechan nyaris terjengkang dari kursi gaming-nya.

"Kamu kenapa sih hari ini?" Suara Jaemin mengudara. Ternyata dia masih ada di kamar ini. "Liat, kalah 'kan."

"Hah?" Haechan menunda makiannya untukku, kembali pada komputer yang—pwahahaha—menampilkan tulisan besar; 'you lose'. Sumpah, aku tadi tidak berniat menembus benda itu lagi. Ini murni takdir dari langit.

"Tahan," kuangkat tanganku dengan bijaksana. "Ada Jaemin di sini."

Haechan menghentikan jemarinya yang jelas hendak menguyel-nguyel wajahku. Aku mengangguk-angguk puas sebelum sadar dia mengubah itu jadi kepalan dan melayangkannya tanpa ragu.

"Aku perempuan, lho!" sengitku, gantian menendang bokong Haechan.

Dia praktis terjatuh ke sebelahku. Bukan gara-gara tendanganku, tapi karena gravitasi dari gerakannya sendiri.

"Kamu kenapa, sih? Game doang, elah."

Iya ya. Barusan Haechan pasti terlihat gila, misuh-misuh sendiri. Aku menjulurkan lidah padanya.

"Lama-lama aku bisa depresi iniii," rengek Haechan, menutup muka dengan punggung tangannya.

"Ck, kita kan main buat hiburan. Jangan malah dijadiin beban dong, ah," cetus Jaemin, aku baru sadar dia juga sedang memainkan game di ponselnya. Ih, dia benar-benar visual. Bersinar tanpa berusaha sedikit pun.

Eh, tadi aku mau ngapain, ya?

"AH IYA!" Aku segera memekik dan menonjok kaki Haechan, memaksanya yang masih tiduran agar melihatku. "Jeno dan manager wanita itu! Mereka ada hubungan apa?"

"Hah?"

Aku mengangguk-angguk heboh.

"Kenapa lagi?" sahut Jaemin, lagi dan lagi dia salah paham.

"Nggak, nggak," balas Haechan selintas, lantas kembali padaku.

"Jeno dan Manager Seora," ulangku tajam. "Aku melihat mereka di dapur tadi."

"Mereka ngapain?" tanya Haechan tanpa suara, hanya gerakan bibir.

"Mereka…" Napasku spontan memburu. "… Jeno bilang manager itu menolaknya."

"Ck."

Ck?

"APA-APAAN 'CK' ITU?" Aku sampai berdiri karena emosi. "Jadi kau tahu soal ini?!" omelku tidak terima.

Haechan bangun pelan-pelan, melirik Jaemin yang masih dengan gawainya. "Aku cuma sudah menduganya saja. Aku ini peka, kau tahu?" bisiknya. Tentu saja. Kalau dia tidak peka, dia tidak akan bisa melihatku. Mungkin.

"Tapi bagaimana…? Kukira kalian semua single—"

"Tck tck," Haechan membuat suara decakan yang entah kenapa terasa mengancam. "In your imagination, Baby. Tidak semua. Kamu penasaran? Aku—"

"Tidak tentangmu!" bantahku senewen. "Ah, persetan! Tapi bagaimana mungkin dengan manager kalian sendiri? Dia—hei, apa yang lain juga tahu?"

"Jaem."

Aku berjengit. Kenapa malah Jaemin?

"Hm?"

Eh? Jadi Haechan benar memanggil Jaemin?

"Kau tau soal Jeno sama Seora Noona, 'kan?"

"Hei!" jeritku terbelalak.

"Jeno pasti cerita kalau ke kamu," tambah Haechan, masih mengabaikanku. "Dia ditolak?"

Di luar kepanikanku, Jaemin malah terkekeh kecil. "Denger darimana?"

Aku ternganga.

"Tanya aja sama orangnya," ungkap Jaemin, masih dengan nada yang kelewat santai. "Tapi hati-hati, dia sensitif soal Manager Noona."

***

[END] See You When You Can See MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang